A. Transparansi
Transparansi berarti terbukanya akses bagi semua pihak yang berkepentingan terhadap setiap informasi terkait seperti berbagai peraturan dan perundang-undangan, serta kebijakan pemerintah dengan biaya yang minimal. Informasi sosial, ekonomi, dan politik yang andal (reliable) dan berkala haruslah tersedia dan dapat diakses oleh publik (biasanya melalui filter media massa yang bertanggung jawab). Artinya, transparansi dibangun atas pijakan kebebasan arus informasi yang memadai disediakan untuk dipahami dan (untuk kemudian) dapat dipantau.
Transparansi jelas mengurangi tingkat ketidakpastian dalam proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan publik. Sebab, penyebarluasan berbagai informasi yang selama ini aksesnya hanya dimiliki pemerintah dapat memberikan kesempatan kepada berbagai komponen masyarakat untuk turut mengambil keputusan. Oleh karenanya, perlu dicatat bahwa informasi ini bukan sekedar tersedia, tapi juga relevan dan bisa dipahami publik. Selain itu, transparansi ini dapat membantu untuk mempersempit peluang korupsi di kalangan para pejabat publik dengan “terlihatnya” segala proses pengambilan keputusan oleh masyarakat luas.
B. Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah kapasitas suatu instansi pemerintahan untuk bertanggung gugat atas keberhasilan maupun kegagalannya dalam melaksanakan misinya dalam mencapai tujuan dan sasaran yang ditetapkan secara periodik. Artinya, setiap instansi pemerintah mempunyai kewajiban untuk mempertanggungjawabkan pencapaian organisasinya dalam pengelolaan sumberdaya yang dipercayakan kepadanya, mulai dari tahap perencanaan, implementasi, sampai pada pemantauan dan evaluasi.
Akuntabilitas merupakan kunci untuk memastikan bahwa kekuasaan itu dijalankan dengan baik dan sesuai dengan kepentingan publik. Untuk itu, akuntabilitas mensyaratkan kejelasan tentang siapa yang bertanggunggugat, kepada siapa, dan apa yang dipertanggunggugatkan. Karenanya, akuntabilitas bisa berarti pula penetapan sejumlah kriteria dan indikator untuk mengukur kinerja instansi pemerintah, serta mekanisme yang dapat mengontrol dan memastikan tercapainya berbagai standar tersebut.
Berbeda dengan akuntabilitas dalam sektor swasta yang bersifat dual-accountability structure (kepada pemegang saham dan konsumen), akuntabilitas pada sektor publik bersifat multiple-accountability structure. Ia dimintai pertanggungjawaban oleh lebih banyak pihak yang mewakili pluralisme masyarakat. Rincinya, kinerja suatu instansi pemerintah harus dapat dipertanggungjawabkan terhadap atasan, anggota DPRD, organisasi nonpemerintah, lembaga donor, dan komponen masyarakat lainnya. Semua itu berarti pula, akuntabilitas internal (administratif) dan eksternal ini menjadi sama pentingnya.
Akhirnya, akuntabilitas menuntut adanya kepastian hukum yang merupakan resultan dari hukum dan perundangan-undangan yang jelas, tegas, diketahui publik di satu pihak, serta upaya penegakan hukum yang efektif , konsisten, dan tanpa pandang bulu di pihak lain. Kepastian hukum juga merupakan indikator penting dalam menimbang tingkat kewibawaan suatu pemerintahan, legitimasinya di hadapan rakyatnya, dan dunia internasional.
C. Partisipasi
Partisipasi merupakan perwujudan dari berubahnya paradigma mengenai peran masyarakat dalam pembangunan. Masyarakat bukanlah sekedar penerima manfaat (beneficiaries) atau objek belaka, melainkan agen pembangunan (subjek) yang mempunyai porsi yang penting. Dengan prinsip “dari dan untuk rakyat”, mereka harus memiliki akses pada pelbagai institusi yang mempromosikan pembangunan.
Karenanya, kualitas hubungan antara pemerintah dengan warga yang dilayani dan dilindunginya menjadi penting di sini. Hubungan yang pertama mewujud lewat proses suatu pemerintahan dipilih. Pemilihan anggota legislatif dan pimpinan eksekutif yang bebas dan jujur merupakan kondisi inisial yang dibutuhkan untuk memastikan bahwa hubungan antara pemerintah yang diberi mandat untuk menjadi “dirigen” tata pemerintahan ini dengan masyarakat (yang diwakili legislatif) dapat berlangsung dengan baik.
Pola hubungan yang kedua adalah keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Kehadiran tiga domain pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil dalam proses ini amat penting untuk memastikan bahwa proses “pembangunan” tersebut dapat memberikan manfaat yang terbesar atau “kebebasan” (mengutip Amartya Zen) bagi masyarakatnya. Pemerintah menciptakan lingkungan politik, ekonomi, dan hukum yang kondusif.
Sektor swasta menciptakan kesempatan kerja yang implikasinya meningkatkan peluanguntuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Akan halnya masyarakat sipil (lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat, organisasi keagamaan, koperasi, serikat pekerja, dan sebagainya) memfasilitasi interaksi sosial-politik untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas ekonomi, sosial, dan politik.
Sementara itu, di tingkat praktis, partisipasi dibutuhkan untuk mendapatkan informasi yang andal dari sumber pertama, serta untuk mengimplementasikan pemantauan atas atas implementasi kebijakan pemerintah, yang akan meningkatkan “rasa memiliki” dan kualitas implementasi kebijakan tersebut. Di tingkatan yang berbeda, efektivitas suatu kebijakan dalam pembangunan mensyaratkan adanya dukungan yang luas dan kerja sama dari semua pelaku (stakeholders) yang terlibat dan memiliki kepentingan.
Secara konseptual, hubungan antara ketiga komponen tata pemerintahan yang baik itu mutualistik dan saling mendukung. Efektivitas dan efisiensi sumber daya dalam mencapai tujuannya mensejahterakan bangsa menuntut tingkat akuntabilitas penyelenggara negara (pemerintah) yang relatif tinggi. Tanpa adanya partisipasi publik untuk mengamankan (safeguard) proses penyelenggaraan negara, sulit diharapkan akuntabilitas dan penegakan hukum dapat berjalan dengan baik.
Di lain pihak, partisipasi publik tidak mungkin dapat berjalan dengan efektif tanpa adanya hak publik untuk mengakses informasi yang dimilik oleh pemerintah. Sebaliknya, transparansi sendiri tidak mungkin tercipta jika pemerintah tidak bertanggung gugat dan tidak ada jaminan hukum atas hak publik untuk mengakses berbagai informasi tersebut. Jadi, ketiganya saling mengkait dan sulit untuk dapat berjalan sendiri tanpa adanya dukungan dari komponen lainnya.
Satu hal penting lainnya untuk negara yang secara geografis luas dengan jumlah penduduk yang besar seperti Indonesia dibutuhkan adanya otonomi yang demokratis di tingkat pemerintah daerah yang memastikan bahwa interaksi antara pemerintah dan masyarakat ini dapat terjadi secara langsung dan intensif di lingkup yang kecil.
2.Keadaan di Indonesia sebelum dan sesudah otonomi daerah
Dengan pemberian otonomi kepada daerah, maka azas penyelenggaraan pemerintah daerah akan selalu menampilkan dua pertimbangan utama, yakni pertimbangan yang berkenaan upaya menjamin kesinambungan dan keberhasilan pembangunan nasional dan pertimbangan untuk mewadahi aspirasi masyarakat di daerah, agar mereka dapat lebih diberdayakan terutama untuk menunjang pembangunan daerah. Masyarakat didaerah akan lebih mendiri dan tidak tergantung kepada bantuan pemerintah. Paradigma pemberdayaan masyarakat (soceity empowerment) bertumpu pada suatu pemikiran; pembangunan akan berjalan dengan sendirinya apabila masyarakat diberi hak untuk mengelola sumber daya alam yang mereka miliki dengan kemampuan sendiri dan menggunakannya untuk pembangunan masyarakatnya.
2.1 Transparansi :
Tranparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau.
Sebelum Otonomi Daerah :
Konsep transparansi pemerintah masih kabur. Hal-hal yang menjadi latar belakang masalah dan menjadi rahasia negara yang membahayakan keselamatan umum tidak boleh diketahui publik. Pemerintah pusat masih cenderung tertutup dan tidak transparan tentang pengelolaan kegiatan pembangunannya termasuk anggaran yang dipakai untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Begitu pula di daerah, masih belum terciptanya transparansi kepada masyarakat luas. Alokasi APBD masyarakat hanya tahu pada bagian hilirnya saja, sedang proses dari penyusunan APBD dilakukan tertutup.
Sesudah Otonomi Daerah
Masyarakat berupaya untuk berada pada peristiwa-peristiwa penting dalam penggodokan keputusan-keputusan menyangkut publik. Misalnya penyusunan APBD, masyarakat harus mengupayakan agar dapat ikut mengawasi dalam semua tingkat pembahasan di eksekutif maupun legislatif. Transparansi dapat membantu untuk mempersempit peluang korupsi di kalangan para pejabat publik khususnya pejabat daerah dengan “terlihatnya” segala proses pengambilan keputusan oleh masyarakat luas.
2.2 Akuntabilitas
Para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta dan organisasi-organisasi masyarakat bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan. Bentuk pertanggung jawaban tersebut berbeda satu dengan lainnya tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan.
Sebelum Otonomi Daerah
Banyak kasus pembuatan kebijakan-kebijakan yang tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana. Dan ada juga kasus apabila suatu kebijakan telah dilaksanakan sesuai dengan rencana namun mengingat kondisi ekternal ternyata tidak menguntungkan akhirnya tidak berkesinambungan. Hal ini disebabkan pelaksanaannya jelek (bad excecution), kebijakannya sendiri mememang jelek (bad policy), dan kebijakan itu bernasib jelek (bad luck). Hal ini biasa terjadi mengingat program-program pemerintah tersentral (terpusat) dari atas saja tanpa melibatkan peranan pemerintah (terlibat tapi pengaruhnya kecil) dan masyarakat yang lebih tahu karakteristik sasaran dari kebijakan pemerintah tersebut.
Selain itu, akuntabilitas anggaran masih lemah dan jarang dikritisi (yang tahu lengkap/detail hanya pusat). Selama itu pula akuntabilitas anggaran senantiasa diterjemahkan dalam bentuk bisa diaudit, dilaporkan ke legislatif dalam bentuk laporan tahunan. Banyak lembaga swasta bahkan pers yang menggunakan anggaran negara tanpa mnegetahui rinciannya lebih detail.
Sesudah Otonomi Daerah
Instansi pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk mempertanggungjawabkan pencapaian organisasinya dalam pengelolaan sumberdaya yang dipercayakan kepadanya, mulai dari tahap perencanaan, implementasi, sampai pada pemantauan dan evaluasi. Tiap pelaksanaan penggunaan uang negara harus jelas pertanggungjawabannya dan harus diketahui masyarakatnya. Biaya perjalanan dinas yang irrasional diminimalisir dan akuntabilitas anggarannya dipertanggungjawabkan kepada DPRD. Masyarakat ikut mengawasi penggunaan anggaran pemerintah.
2.3 Partisipasi
Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif.
Sebelum Otonomi Daerah
Semua kebijakan publik serba bersumber dari atas (sentralistik). Pemerintah daerah hanya sebagai pelaksana dan partisipasi masyarakat hanya sebatas ungkapan-ungkapan untuk menjalankan program-program pembangunan tersebut. Masyarakat sendiri tidak pernah menjadi agen pembangunan (development agent), karena yang paling sering disebut sebut agen-agen pembangunan misalnya adalah BUMN, Koperasi serta lembaga bentukan pemerintah lainnya.
Sesudah Otonomi Daerah
Konsep partisipasi masyarakat semakin mencuat. Masyarakat bukanlah sekedar penerima manfaat (beneficiaries) atau objek belaka, melainkan agen pembangunan (subjek) yang mempunyai porsi yang penting. Terutama untuk kebijakan pemerintah/DPRD yang menyangkut publik harus ada imbangannya dari ranah publik. Rakyat harus ikut menimpali statmen pemerintah. Harus ditunjukkan adanya partisipasi riil rakyat dalam penetapan sebuah kebijakan publik.
Terdapat beberapa perubahan-perubahan penting yang dapat diamati dan dirasakan penulis setelah pelaksanaan otonomi daerah:
1.Perubahan paradigma dalam penerapan transparansi.
Data/informasi kegiatan pengelolaan pembangunan tiap daerah termasuk perumusan kebijakan dan pelaksanaan kerja organisasi dapat diakses mudah oleh publik. Transparansi telah menumbuhkan kepercayaan timbal balik antara pemerintah, masyarakat dan stakeholders lainnya.
2.Perubahan paradigma dalam penerapan akuntabilitas.
1.Rencana pembangunan harus mengandung visi dan misi yang jelas dan tepat sasaran lagi karena dikelola oleh pemerintah daerah yang mengetahui karakteristik daerah yang bersangkutan.
2.Kelembagaan yang dilakukan pemerintah daerah dinilai lebih optimal dibandingkan harus tersentral ke pusat. Banyak campur tangan pusat yang dirasa tidak perlu yang akan mengganggu struktur kelembagaan daerah yang ada.
3.Adanya pemanfaatan sumberdaya manusia melalui konsep putra daerah. Pemanfaatan putra daerah sebagai potensi dalam mendukung pembangunan merupakan nilai lebih dari munculnya pembaharuan dalam hal akuntabilitas di masa setelah otonomi daerah.
4.Pelaksanaan kegiatan yang lebih efektif dan efisien. Dikarenakan pembagian wewenang dalam mengorganisir kegiatan pembangunan di daerahnya masing-masing. Jadi pembagian wewenang dan tanggung jawab ini akan menjadi motivasi bagi tiap daerah untuk mengoptimalkan kegiatan yang ada agar memperoleh hasil yang maksimal.
3.Perubahan paradigma dalam penerapan partisipasi.
Adanya penyadaran akan pentingnya pelibatan masyarakat luas secara langsung dalam upaya meningkatkan partisipasi dan fungsi pengawasan secara independen dan transparan. Dalam hal ini press lokal, partai politik, kelompok kepentingan dan organisasi kemasyarakatan semuanya akan memainkan peranan penting dalam proses pengembangan pemerintah daerah yang demokratis. Fungsi pemerintah daerah adalah sebagai pelayan dan fasilitator aktivitas masyarakat, karena itu berbagai kegiatan dan kebijakan di era otonomi daerah makin banyak diserahkan atau melibatkan masyarakat.
dari berbagai sumber
Berbagi informasi tentang Wilayah dalam khasanah ilmu Geografi PPW...
shine on
Selamat Datang
Wilujeng Sumping, Sugeng Rawuh, Welcome......
Mengenai Saya
- Iwan Mulyawan, M.Sc
- Kuningan, Jawa barat, Indonesia
- Iwan Mulyawan, M.Sc jebolan Konsentrasi Perencanaan Pembangunan Wilayah Prodi Geografi Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Jogjakarta. Sekarang bekerja di Badan Perencanaan Pembangunan Wilayah... Suka berdiskusi tentang isue-isue wilayah yang aktual demi pengembangan keilmuan dalam wacana kewilayahan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
ok bgt.. tapi perlu disadari sejauh mana keberasilan good governance saat ini ? mana yang harus di benahi!
BalasHapuskira2 berapa lama mjd good governance!