Dalam rangka pembangunan nasional yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, perlu dilakukan penataan ruang serta pengembangan wilayah agar usaha-usaha ke arah perbaikan kehidupan nasional dapat tercapai. Penataan ruang adalah proses perencanaan, pemanfaatan ruang, dan pengendaliannya sesuai dengan peruntukannya dan wujudnya berupa pola pemanfaatan ruang wilayah nasional, ruang wilayah Daerah Tingkat I dan ruang wilayah Daerah Tingkat II yang mencakup kawasan perkotaan, kawasan pedesaan, dan kawasan tertentu. Tujuan dari penataan ruang yaitu terselenggaranya penataan ruang berwawasan lingkungan dan terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan budidaya, serta tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas. Posisi seorang geograf dalam perencanaan wilayah meliputi penelitian dan survey lapangan serta pengumpulan data , kecuali itu geografer bersama-sama dengan disiplin lainnya mempunyai kedudukan dalam pelaksanaan perencanaan di lapangan dan evaluasi dari komponen perencanaan.
Didik Taryana
Berbagi informasi tentang Wilayah dalam khasanah ilmu Geografi PPW...
shine on
Selamat Datang
Wilujeng Sumping, Sugeng Rawuh, Welcome......
Mengenai Saya
- Iwan Mulyawan, M.Sc
- Kuningan, Jawa barat, Indonesia
- Iwan Mulyawan, M.Sc jebolan Konsentrasi Perencanaan Pembangunan Wilayah Prodi Geografi Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Jogjakarta. Sekarang bekerja di Badan Perencanaan Pembangunan Wilayah... Suka berdiskusi tentang isue-isue wilayah yang aktual demi pengembangan keilmuan dalam wacana kewilayahan
Jumat, 12 Maret 2010
National Geographic
Yayasan National Geographic didirikan di Amerika Serikat pada 27 Januari 1888 oleh 33 orang yang tertarik untuk meningkatkan pengetahuan geografi. Gardiner Greene Hubbard menjadi presiden pertama dan kemudian digantikan oleh menantunya Alexander Graham Bell. Bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan umum tentang geografi dunia dan pada akhirnya mensponsori penerbitan majalah bulanan National Geographic.
Begitu eratnya National Geographic kita ini dengan keilmuwan Geografi, sehingga sebagai pencinta dan kolektor NG (walaupun yang tertua hanya Vol. 154, No.4 terbitan okt. 1978) dan sebagai penggiat geografi melalui forum ini saya mencoba mengangkat kajian geografi dari sudut pandang hakikat keilmuwan geografi.
HAKIKAT GEOGRAFI
Dalam filsafat ilmu pengetahuan ditegaskan bahwa suatu pengetahuan yang sistematis disebut ilmu pengetahuan bila memiliki sekurang-kurangnya tiga aspek, yaitu aspek ontologis, aspek epistemologis dan aspek aksiologis atau aspek fungsional. Hakikat Geografi sebagai ilmu pengetahuan dapat ditelusuri melalui kaitan bagian permukaan bumi dengan kehidupan manusia.
1. Aspek Ontologis
Aspek ontologis suatu disiplin ilmu pengetahuan menghendaki adanya rumusan (batasan) mengenai obyek studi yang jelas dan tegas sehingga menunjukkan perbedaan dengan bidang-bidang ilmu pengetahuan lainnya. Berdasarkan beberapa pendapat para ahli, Geografi merupakan studi tentang :
(1) Bentangan atau landskap.
(2) Tempat-tempat (jenis, Lukerman).
(3) Ruang, khususnya yang ada pada permukaan bumi (E. Kant).
(4) Pengaruh tertentu dari lingkungan alam kepada manusia (Houston, Martin).
(5) Pola-pola ruang yang beraneka ragam (Robinson, Lindberg, dan Brinkman).
(6) Perbedaan wilayah dan integrasi wilayah (Hartshorne).
(7) Proses-proses lingkungan dan pola-pola yang dihasilkannya (Barlow-Newton).
(8) Lokasi, distribusi, interdependensi, dan interaksi dalam ruang (Lukerman).
(9) Kombinasi atau paduan, konfigurasi gejala-gejala pada permukaan bumi
(Minshull).
(10) Sistem manusia-lingkungan.
(11) Sistem manusia-bumi (Berry).
(12) Saling hubungan di dalam ekosistem (Morgan, Moss).
(13) Ekologi manusia.
(14) Kebedaan areal dari paduan gejala-gejala pada permukaan bumi (Hartskorus).
Ini berarti bahwa aspek ontologis geografi mencakup interrelasi, interaksi, dan interdependensi bagian permukaan bumi (space, area, wilayah, kawasan) itu dengan manusia. Pengertian bagian permukaan bumi itu mencakup juga lingkungan fauna, flora, dan biosfer. Unsur ruang atau wilayah atau tempat itulah yang menjadi perhatian geografi sejak dulu. Tidak ada disiplin ilmu lain yang memperhatikan fakta tentang ruang, yang justru penting sebagai tempat dari aneka ragam gejala dan kejadian di permukaan bumi kita ini. Geografi memperhatikan ruang (space) dari sudut pandangan wilayah “an sich” dan bukan dari sudut pandangan gejala-gejala yang terhimpun di dalamnya. Hal tersebut yang membedakan geografi dari ilmu-ilmu lain. Maka analisis tentang “area yang kompleks” merupakan bagian perhatian utama dari geografi.
Pada hakikatnya, Geografi sebagai bidang ilmu pengetahuan, selalu melihat keseluruhan gejala dalam ruang dengan memperhatikan secara mendalam tiap aspek yang menjadi komponen tiap aspek tadi. Geografi sebagai satu kesatuan studi (unified geography), melihat satu kesatuan komponen alamiah dengan komponen insaniah pada ruang tertentu di permukaan bumi, dengan mengkaji faktor alam dan faktor manusia yang membentuk integrasi keruangan di wilayah yang bersangkutan. Gejala—interaksi—integrasi keruangan, menjadi hakekat kerangka kerja utama pada Geografi dan Studi Geografi (Sumaatmadja).
Dalam perkembangannya, dengan obyek studi geografi tersebut melahirkan ilmu pengetahuan Geografi Fisis (Physical Geography), Geografi Manusia (Human Geography), dan Geografi Regional (Regional Geography); dengan berbagai anak cabangnya masing-masing.
2. Aspek Epistemologis
Aspek epistemologis (metodologis, pendekatan) geografi sejalan dengan aspek epistemologis ilmu pada umumnya, yaitu penggunaan metodologi ilmiah dengan pemikiran deduktif, pendekatan hipotesis, serta penelaahan induktif terutama di dalam tahap verifikasi. Pendekatan deduktif analisis geografi bertitik tolak dari pengamatan secara umum, yaitu dari postulat, dalil atau premis yang dianggap sudah diakui secara umum. Kemudian dari hasil pengamatan secara umum ini diambil kesimpulan secara khusus (reasoning from the general to the particular). Pola pendekatan induksi-empiris berpangkal tolak dari pengamatan dan pengkajian yang bersifat khusus, berdasarkan fakta dari gejala yang diamati dan dari sini diambil suatu kesimpulan secara umum (reasoning from the particular to the general). Dengan metode induksi-empiris saja, maka hukum-hukum, dalil-dalil dan teori-teori geografi hanya berlaku di suatu tempat dan waktu-waktu tertentu, sebab hukum, dalil maupun teori geografi sangat tergantung pada kondisi lingkungan setempat. Untuk menjembatani kedua pendekatan yang berbeda ini geografi menggunakan metode pendekatan reflective thingking; yaitu menggunakan atau menggabungkan pendekatan dedukif dan induktif secara hilir-mudik dalam penelitian geografi.
Terdapat tiga macam cara untuk menyelidiki realita pada permukaan bumi (menurut Kant, Hettner, Hartshorne):
a. Secara sistematis; yaitu mencari penggolongan, ketegori, kesamaan dan keadaan dari gejala-gejala yang ada pada permukaan bumi. Terjadilah ilmu-ilmu seperti biologi, fisika, kimia (tergolong ilmu-ilmu pengetahuan alam), dan ilmu-ilmu seperti sosiologi, psikologi, ekonomi, politik (tergolong ilmu-ilmu pengetahuan sosial).
b. Secara kronologis (chronos = waktu); yaitu menyelidiki gejala-gejala pada permukaan bumi dalam urutan-urutan waktu (palaeontologi, arkeologi, sejarah).
c. Secara korologis (choora = wilayah); yaitu menyelidiki gejala-gejala dalam hubungannya dengan ruang bumi (geografi, geofisika, astronomi).
Dari ketiga macam pendekatan tersebut, ilmu geografi menggunakan (mengutamakan) pendekatan korologis. Penggunaan peta adalah wujud dari pendekatan korologis ini. Sehingga ada ahli geografi yang berkata, “Geografer adalah orang yang bekerja dengan peta untuk menghasilkan peta.”
Orang yang berkecimpung dalam bidang geografi, sekurang-kurangnya harus melakukan dua jenis pendekatan, yaitu yang berlaku pada sistem keruangan [korologis] dan yang berlaku pada ekologi atau ekosystem. Bahkan untuk mengkaji perkembangan dan dinamika suatu gejala dan atau suatu masalah, harus pula menggunakan pendekatan historis atau pendekatan kronologis (Sumaatmadja, 1981).
3. Aspek Aksiologis
Adapun aspek aksiologi geografi adalah mengikuti pendekatan fungsional untuk kesejahteraan manusia. Keterlibatan geografi dengan aspek-aspek bidang studinya tersebut membuatnya menjadi cabang ilmu yang berfungsi menjelaskan, meramal, dan mengontrol yang diaplikasikan ke dalam Perencanaan dan Pengembangan wilayah. Aspek aksiologi ilmu pengetahuan geografi ini melahirkan Geografi Terapan.
a. Menjelaskan
Geografi harus dapat memberikan penjelasan tentang gejala-gejala obyek studinya. Fungsi menjelaskan memungkinkan orang akan mengerti akan gejala-gejala, bagaimana adanya (deskriptif) dan terjadinya serta mengapa itu terjadi (analisis kausalitas). Penalaran dengan logika deduktif dan induktif merupakan sarana dalam memberikan penjelasan itu. Penjelasan itu dapat dilakukan secara kualitatif dan secara kuantitatif. Sistem Informasi Geografis (SIG atau GIS = Geographic Information System) adalah inplikasi dari fungsi-fungsi menjelaskan data dari gejala geografis.
b. Meramal
Geografi harus dapat meramal (memprediksi) gejala-gejala yang mungkin akan terjadi ke depan. Fungsi meramal ini bertolak dari penjelasan yang telah diberikan dan yang melahirkan pengertian pada orang lain. Dengan pengertian itu orang dapat berbuat sesuatu, memanfaatkan gejala, menghindarinya, mencegah terjadinya atau pun mengurangi ekses yang mungkin merugikan sebagai akibat terjadinya gejala itu. Dengan pengertian ini, orang juga bisa membayangkan apa kira-kira yang akan terjadi apabila suatu gejala tertentu muncul.
c. Mengontrol
Geografi harus dapat mengontrol gejala-gejala. Ramalan dalam geografi, seperti juga dalam disiplin ilmu yang lainnya, memberikan stimuli bagi seseorang untuk mengambil inisiatif atau pun mempertimbangkan berbagai alternatif. Karena ramalan itu juga orang dapat mengatur segala sesuatu untuk mendorong terjadinya, menyambutnya, menghindarinya, mencegahnya, atau pun mengatasinya.
Dengan hakekat demikian, maka geografi berperan untuk penyebaran efektif, pemanfaatan potensi sumberdaya, dan perbaikan lingkungan dengan segala dampaknya. Gerakan perbaikan kependudukan dan lingkungan hidup adalah salah satu manifestasi dari fungsi mengontrol untuk menghindari, mencegah atau mengatasi masalah yang sedang dan akan di hadapi di muka planet bumi ini. Demikian juga dengan penerapan pendekatan geografi dalam perencanaan dan pengembangan wilayah.
Aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis geografi seperti ini mempermudah geografi membatasi dirinya sendiri dalam lingkup yang jelas.
Apabila ada yang membedakan ilmu dan pengetahuan menjadi kelompok ilmu-ilmu pengetahuan alam dan ilmu-ilmu pengetahuan sosial, maka kedudukan geografi adalah menjembatani kedua kelompok ilmu tersebut. Kalau “semua” gejala pada permukaan bumi telah dipilih dan ditekuni oleh berbagai disiplin ilmu (selain Geografi), maka tempat atau ruang atau area di mana segala kejadian dan gejala itu terhimpun, tetap tidak menjadi perhatian ilmu-ilmu tersebut.
Untuk menuju geografi terpadu (unifying geography) perlu ditegaskan komponen inti Geografi. Matthews, et al., (2004) mengusulkan empat komponen inti Geografi : ruang (space), tempat (place), lingkungan (environment) dan peta (maps).
Ruang menjadi satu konsep dalam inti geografi, yang dapat dipandang sebagai pendekatan spasial-korologikal untuk Geografi. Ruang juga mendominasi Geografi setiap waktu, ketika analisis spatial menjadi satu pendeskripsi untuk satu bentuk dari pekerjaan geografis. Pola spasial umumnya menjadi titik awal untuk kajian geografis; yang selanjutnya dapat dilacak proses perubahan secara spasial dan sistem spasial.
Tempat merupakan komponen kedua dalam inti geografi. Tempat terkait dengan kosep teritorial dalam Geografi dan menunjukkan karakteristik, kemelimpahan dan batas. Tempat merupakan bagian dari dunia nyata tempat manusia bertem dan dapat dikenali, dinterpretasi dan dikelola. Dalam ahli geografi manusia tempat merupakan refleksi dari identitas idividu maupun kelompok; sedang bagi ahli geografi fisik tempat tempat merupakan refleksi dari perbedaan lingkungan biofisik.
Lingkungan merupakan komponen inti Geografi ketiga yang mencakup lingkungan alami (topografi, iklim, air, biota, tanah) dan sebagai komponen inti yang memadukan dengan komponen geografi lainnya. Lingkungan menjadi interface antara lingkungan alam dan budaya, lahan dan kehidupan, penduduk dan lingkungan biofisikalnya.
Peta sebagai komponen inti Geografi keempat lebih merupakan bentuk representasi, tehnik dan metodologi dari pada sebagai satu konsep atau teori. Peta dipandang sebagai pernyerhanaan perpektif spasial dari fenomena/peristiwa yang dikaji dalam Geografi.
Ruang, tempat, lingkungan dan peta menjadi label dari Geografi. Komponen tersebut mempunyai kedudukan yang sama dalam kajian Geografi, baik dalam kajian Geografi Fisik maupun Geografi Manusia. Demikian juga dapat menjadi dasar konsep untuk disiplin Geografi secara utuh.
Begitu eratnya National Geographic kita ini dengan keilmuwan Geografi, sehingga sebagai pencinta dan kolektor NG (walaupun yang tertua hanya Vol. 154, No.4 terbitan okt. 1978) dan sebagai penggiat geografi melalui forum ini saya mencoba mengangkat kajian geografi dari sudut pandang hakikat keilmuwan geografi.
HAKIKAT GEOGRAFI
Dalam filsafat ilmu pengetahuan ditegaskan bahwa suatu pengetahuan yang sistematis disebut ilmu pengetahuan bila memiliki sekurang-kurangnya tiga aspek, yaitu aspek ontologis, aspek epistemologis dan aspek aksiologis atau aspek fungsional. Hakikat Geografi sebagai ilmu pengetahuan dapat ditelusuri melalui kaitan bagian permukaan bumi dengan kehidupan manusia.
1. Aspek Ontologis
Aspek ontologis suatu disiplin ilmu pengetahuan menghendaki adanya rumusan (batasan) mengenai obyek studi yang jelas dan tegas sehingga menunjukkan perbedaan dengan bidang-bidang ilmu pengetahuan lainnya. Berdasarkan beberapa pendapat para ahli, Geografi merupakan studi tentang :
(1) Bentangan atau landskap.
(2) Tempat-tempat (jenis, Lukerman).
(3) Ruang, khususnya yang ada pada permukaan bumi (E. Kant).
(4) Pengaruh tertentu dari lingkungan alam kepada manusia (Houston, Martin).
(5) Pola-pola ruang yang beraneka ragam (Robinson, Lindberg, dan Brinkman).
(6) Perbedaan wilayah dan integrasi wilayah (Hartshorne).
(7) Proses-proses lingkungan dan pola-pola yang dihasilkannya (Barlow-Newton).
(8) Lokasi, distribusi, interdependensi, dan interaksi dalam ruang (Lukerman).
(9) Kombinasi atau paduan, konfigurasi gejala-gejala pada permukaan bumi
(Minshull).
(10) Sistem manusia-lingkungan.
(11) Sistem manusia-bumi (Berry).
(12) Saling hubungan di dalam ekosistem (Morgan, Moss).
(13) Ekologi manusia.
(14) Kebedaan areal dari paduan gejala-gejala pada permukaan bumi (Hartskorus).
Ini berarti bahwa aspek ontologis geografi mencakup interrelasi, interaksi, dan interdependensi bagian permukaan bumi (space, area, wilayah, kawasan) itu dengan manusia. Pengertian bagian permukaan bumi itu mencakup juga lingkungan fauna, flora, dan biosfer. Unsur ruang atau wilayah atau tempat itulah yang menjadi perhatian geografi sejak dulu. Tidak ada disiplin ilmu lain yang memperhatikan fakta tentang ruang, yang justru penting sebagai tempat dari aneka ragam gejala dan kejadian di permukaan bumi kita ini. Geografi memperhatikan ruang (space) dari sudut pandangan wilayah “an sich” dan bukan dari sudut pandangan gejala-gejala yang terhimpun di dalamnya. Hal tersebut yang membedakan geografi dari ilmu-ilmu lain. Maka analisis tentang “area yang kompleks” merupakan bagian perhatian utama dari geografi.
Pada hakikatnya, Geografi sebagai bidang ilmu pengetahuan, selalu melihat keseluruhan gejala dalam ruang dengan memperhatikan secara mendalam tiap aspek yang menjadi komponen tiap aspek tadi. Geografi sebagai satu kesatuan studi (unified geography), melihat satu kesatuan komponen alamiah dengan komponen insaniah pada ruang tertentu di permukaan bumi, dengan mengkaji faktor alam dan faktor manusia yang membentuk integrasi keruangan di wilayah yang bersangkutan. Gejala—interaksi—integrasi keruangan, menjadi hakekat kerangka kerja utama pada Geografi dan Studi Geografi (Sumaatmadja).
Dalam perkembangannya, dengan obyek studi geografi tersebut melahirkan ilmu pengetahuan Geografi Fisis (Physical Geography), Geografi Manusia (Human Geography), dan Geografi Regional (Regional Geography); dengan berbagai anak cabangnya masing-masing.
2. Aspek Epistemologis
Aspek epistemologis (metodologis, pendekatan) geografi sejalan dengan aspek epistemologis ilmu pada umumnya, yaitu penggunaan metodologi ilmiah dengan pemikiran deduktif, pendekatan hipotesis, serta penelaahan induktif terutama di dalam tahap verifikasi. Pendekatan deduktif analisis geografi bertitik tolak dari pengamatan secara umum, yaitu dari postulat, dalil atau premis yang dianggap sudah diakui secara umum. Kemudian dari hasil pengamatan secara umum ini diambil kesimpulan secara khusus (reasoning from the general to the particular). Pola pendekatan induksi-empiris berpangkal tolak dari pengamatan dan pengkajian yang bersifat khusus, berdasarkan fakta dari gejala yang diamati dan dari sini diambil suatu kesimpulan secara umum (reasoning from the particular to the general). Dengan metode induksi-empiris saja, maka hukum-hukum, dalil-dalil dan teori-teori geografi hanya berlaku di suatu tempat dan waktu-waktu tertentu, sebab hukum, dalil maupun teori geografi sangat tergantung pada kondisi lingkungan setempat. Untuk menjembatani kedua pendekatan yang berbeda ini geografi menggunakan metode pendekatan reflective thingking; yaitu menggunakan atau menggabungkan pendekatan dedukif dan induktif secara hilir-mudik dalam penelitian geografi.
Terdapat tiga macam cara untuk menyelidiki realita pada permukaan bumi (menurut Kant, Hettner, Hartshorne):
a. Secara sistematis; yaitu mencari penggolongan, ketegori, kesamaan dan keadaan dari gejala-gejala yang ada pada permukaan bumi. Terjadilah ilmu-ilmu seperti biologi, fisika, kimia (tergolong ilmu-ilmu pengetahuan alam), dan ilmu-ilmu seperti sosiologi, psikologi, ekonomi, politik (tergolong ilmu-ilmu pengetahuan sosial).
b. Secara kronologis (chronos = waktu); yaitu menyelidiki gejala-gejala pada permukaan bumi dalam urutan-urutan waktu (palaeontologi, arkeologi, sejarah).
c. Secara korologis (choora = wilayah); yaitu menyelidiki gejala-gejala dalam hubungannya dengan ruang bumi (geografi, geofisika, astronomi).
Dari ketiga macam pendekatan tersebut, ilmu geografi menggunakan (mengutamakan) pendekatan korologis. Penggunaan peta adalah wujud dari pendekatan korologis ini. Sehingga ada ahli geografi yang berkata, “Geografer adalah orang yang bekerja dengan peta untuk menghasilkan peta.”
Orang yang berkecimpung dalam bidang geografi, sekurang-kurangnya harus melakukan dua jenis pendekatan, yaitu yang berlaku pada sistem keruangan [korologis] dan yang berlaku pada ekologi atau ekosystem. Bahkan untuk mengkaji perkembangan dan dinamika suatu gejala dan atau suatu masalah, harus pula menggunakan pendekatan historis atau pendekatan kronologis (Sumaatmadja, 1981).
3. Aspek Aksiologis
Adapun aspek aksiologi geografi adalah mengikuti pendekatan fungsional untuk kesejahteraan manusia. Keterlibatan geografi dengan aspek-aspek bidang studinya tersebut membuatnya menjadi cabang ilmu yang berfungsi menjelaskan, meramal, dan mengontrol yang diaplikasikan ke dalam Perencanaan dan Pengembangan wilayah. Aspek aksiologi ilmu pengetahuan geografi ini melahirkan Geografi Terapan.
a. Menjelaskan
Geografi harus dapat memberikan penjelasan tentang gejala-gejala obyek studinya. Fungsi menjelaskan memungkinkan orang akan mengerti akan gejala-gejala, bagaimana adanya (deskriptif) dan terjadinya serta mengapa itu terjadi (analisis kausalitas). Penalaran dengan logika deduktif dan induktif merupakan sarana dalam memberikan penjelasan itu. Penjelasan itu dapat dilakukan secara kualitatif dan secara kuantitatif. Sistem Informasi Geografis (SIG atau GIS = Geographic Information System) adalah inplikasi dari fungsi-fungsi menjelaskan data dari gejala geografis.
b. Meramal
Geografi harus dapat meramal (memprediksi) gejala-gejala yang mungkin akan terjadi ke depan. Fungsi meramal ini bertolak dari penjelasan yang telah diberikan dan yang melahirkan pengertian pada orang lain. Dengan pengertian itu orang dapat berbuat sesuatu, memanfaatkan gejala, menghindarinya, mencegah terjadinya atau pun mengurangi ekses yang mungkin merugikan sebagai akibat terjadinya gejala itu. Dengan pengertian ini, orang juga bisa membayangkan apa kira-kira yang akan terjadi apabila suatu gejala tertentu muncul.
c. Mengontrol
Geografi harus dapat mengontrol gejala-gejala. Ramalan dalam geografi, seperti juga dalam disiplin ilmu yang lainnya, memberikan stimuli bagi seseorang untuk mengambil inisiatif atau pun mempertimbangkan berbagai alternatif. Karena ramalan itu juga orang dapat mengatur segala sesuatu untuk mendorong terjadinya, menyambutnya, menghindarinya, mencegahnya, atau pun mengatasinya.
Dengan hakekat demikian, maka geografi berperan untuk penyebaran efektif, pemanfaatan potensi sumberdaya, dan perbaikan lingkungan dengan segala dampaknya. Gerakan perbaikan kependudukan dan lingkungan hidup adalah salah satu manifestasi dari fungsi mengontrol untuk menghindari, mencegah atau mengatasi masalah yang sedang dan akan di hadapi di muka planet bumi ini. Demikian juga dengan penerapan pendekatan geografi dalam perencanaan dan pengembangan wilayah.
Aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis geografi seperti ini mempermudah geografi membatasi dirinya sendiri dalam lingkup yang jelas.
Apabila ada yang membedakan ilmu dan pengetahuan menjadi kelompok ilmu-ilmu pengetahuan alam dan ilmu-ilmu pengetahuan sosial, maka kedudukan geografi adalah menjembatani kedua kelompok ilmu tersebut. Kalau “semua” gejala pada permukaan bumi telah dipilih dan ditekuni oleh berbagai disiplin ilmu (selain Geografi), maka tempat atau ruang atau area di mana segala kejadian dan gejala itu terhimpun, tetap tidak menjadi perhatian ilmu-ilmu tersebut.
Untuk menuju geografi terpadu (unifying geography) perlu ditegaskan komponen inti Geografi. Matthews, et al., (2004) mengusulkan empat komponen inti Geografi : ruang (space), tempat (place), lingkungan (environment) dan peta (maps).
Ruang menjadi satu konsep dalam inti geografi, yang dapat dipandang sebagai pendekatan spasial-korologikal untuk Geografi. Ruang juga mendominasi Geografi setiap waktu, ketika analisis spatial menjadi satu pendeskripsi untuk satu bentuk dari pekerjaan geografis. Pola spasial umumnya menjadi titik awal untuk kajian geografis; yang selanjutnya dapat dilacak proses perubahan secara spasial dan sistem spasial.
Tempat merupakan komponen kedua dalam inti geografi. Tempat terkait dengan kosep teritorial dalam Geografi dan menunjukkan karakteristik, kemelimpahan dan batas. Tempat merupakan bagian dari dunia nyata tempat manusia bertem dan dapat dikenali, dinterpretasi dan dikelola. Dalam ahli geografi manusia tempat merupakan refleksi dari identitas idividu maupun kelompok; sedang bagi ahli geografi fisik tempat tempat merupakan refleksi dari perbedaan lingkungan biofisik.
Lingkungan merupakan komponen inti Geografi ketiga yang mencakup lingkungan alami (topografi, iklim, air, biota, tanah) dan sebagai komponen inti yang memadukan dengan komponen geografi lainnya. Lingkungan menjadi interface antara lingkungan alam dan budaya, lahan dan kehidupan, penduduk dan lingkungan biofisikalnya.
Peta sebagai komponen inti Geografi keempat lebih merupakan bentuk representasi, tehnik dan metodologi dari pada sebagai satu konsep atau teori. Peta dipandang sebagai pernyerhanaan perpektif spasial dari fenomena/peristiwa yang dikaji dalam Geografi.
Ruang, tempat, lingkungan dan peta menjadi label dari Geografi. Komponen tersebut mempunyai kedudukan yang sama dalam kajian Geografi, baik dalam kajian Geografi Fisik maupun Geografi Manusia. Demikian juga dapat menjadi dasar konsep untuk disiplin Geografi secara utuh.
Konsep Wilayah dan Pusat Pertumbuhan Pengembangan Wilayah
Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Menurut Rustiadi, dkk. (2006) wilayah dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik tertentu dimana komponen-komponen wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional. Sehingga batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis.
Komponen-komponen wilayah mencakup komponen biofisik alam, sumberdaya buatan (infrastruktur), manusia serta bentuk- bentuk kelembagaan. Dengan demikian istilah wilayah menekankan interaksi antar manusia dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu. Konsep wilayah yang paling klasik mengenai tipologi wilayah, mengklasifikasikan konsep wilayah ke dalam tiga kategori, yaitu (1) wilayah homogeny (uniform/homogenous region); (2) wilayah nodal (nodal region); dan (3) wilayah perencanaan (planning region atau programming region). Sejalan dengan klasifikasi tersebut, (Glason, 1974 dalam Tarigan, 2005) berdasarkan fase kemajuan perekonomian mengklasifikasikan region/wilayah menjadi 3, yaitu sebagai berikut.
1. Fase pertama yaitu wilayah formal yang berkenaan dengan keseragaman / homogenitas. Wilayah formal adalah suatu wilayah geografik yang seragam menurut kriteria tertentu, seperti keadaan fisik geografi, ekonomi, sosial dan politik.
2. Fase kedua yaitu wilayah fungsional yang berkenaan dengan koherensi dan interdependensi fungsional, saling hubungan antar bagian-bagian dalam wilayah tersebut. Kadang juga disebut wilayah nodal atau polarized region dan terdiri dari satuan-satuan yang heterogen, seperti desa-kota yang secara fungsional saling berkaitan.
3. Fase ketiga yaitu wilayah perencanaan yang memperlihatkan koherensi atau kesatuan keputusan-keputusan ekonomi.
Menurut Saefulhakim, dkk (2002) wilayah adalah satu kesatuan unit geografis yang antar bagiannya mempunyai keterkaitan secara fungsional. Wilayah berasal dari bahasa Arab “wālā-yuwālī-wilāyah” yang mengandung arti dasar “saling tolong menolong, saling berdekatan baik secara geometris maupun similarity”. Contohnya: antara supply dan demand, hulu-hilir. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan pewilayahan (penyusunan wilayah) adalah pendelegasian unit geografis berdasarkan kedekatan, kemiripan, atau intensitas hubungan fungsional (tolong menolong, bantu membantu, lindung melindungi) antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya.
Wilayah Pengembangan adalah pewilayahan untuk tujuan pengembangan / pembangunan / development. Tujuan-tujuan pembangunan terkait dengan lima kata kunci, yaitu (1) pertumbuhan; (2) penguatan keterkaitan; (3) keberimbangan; (4) kemandirian; dan (5) keberlanjutan. Sedangkan konsep wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan sifat-sifat tertentu pada wilayah tersebut yang bisa bersifat alamiah maupun non alamiah yang sedemikian rupa sehingga perlu direncanakan dalam kesatuan wilayah perencanaan.
Pembangunan merupakan upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik.
Sedangkan menurut Anwar (2005), pembangunan wilayah dilakukan untuk mencapai tujuan pembangunan wilayah yang mencakup aspek-aspek pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan yang berdimensi lokasi dalam ruang dan berkaitan dengan aspek sosial ekonomi wilayah. Pengertian pembangunan dalam sejarah dan strateginya telah mengalami evolusi perubahan, mulai dari strategi pembangunan yang menekankan kepada pertumbuhan ekonomi, kemudian pertumbuhan dan kesempatan kerja, pertumbuhan dan pemerataan, penekanan kepada kebutuhan dasar (basic need approach), pertumbuhan dan lingkungan hidup, dan pembangunan yang berkelanjutan (suistainable development).
Pendekatan yang diterapkan dalam pengembangan wilayah di Indonesia sangat beragam karena dipengaruhi oleh perkembangan teori dan model ekonomi berkelanjutan melalui penyebaran penduduk lebih rasional, meningkatkan kesempatan kerja dan produktifitas (Mercado, 2002).
Menurut Direktorat Pengembangan Kawasan Strategis, Ditjen Penataan Ruang, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2002) prinsip-prinsip dasar dalam pengembangan wilayah adalah sebagai berikut.
1. Sebagai growth center, pengembangan wilayah tidak hanya bersifat internal wilayah, namun harus diperhatikan sebaran atau pengaruh (spred effect) pertumbuhan yang dapat ditimbulkan bagi wilayah sekitarnya, bahkan secara nasional.
2. Pengembangan wilayah memerlukan upaya kerjasama pengembangan antar daerah dan menjadi persyaratan utama bagi keberhasilan pengembangan wilayah.
3. Pola pengembangan wilayah bersifat integral yang merupakan integrasi dari daerah-daerah yang tercakup dalam wilayah melalui pendekatan kesetaraan.
Dalam pengembangan wilayah, mekanisme pasar harus juga menjadi prasyarat bagi perencanaan pengembangan kawasan. Dalam pemetaan strategic development region, satu wilayah pengembangan diharapkan mempunyai unsur-unsur strategis antara lain berupa sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan infrastruktur yang saling berkaitan dan melengkapi sehingga dapat dikembangkan secara optimal dengan memperhatikan sifat sinergisme di antaranya (Direktorat Pengembangan Wilayah dan Transmigrasi, 2003).
Komponen-komponen wilayah mencakup komponen biofisik alam, sumberdaya buatan (infrastruktur), manusia serta bentuk- bentuk kelembagaan. Dengan demikian istilah wilayah menekankan interaksi antar manusia dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu. Konsep wilayah yang paling klasik mengenai tipologi wilayah, mengklasifikasikan konsep wilayah ke dalam tiga kategori, yaitu (1) wilayah homogeny (uniform/homogenous region); (2) wilayah nodal (nodal region); dan (3) wilayah perencanaan (planning region atau programming region). Sejalan dengan klasifikasi tersebut, (Glason, 1974 dalam Tarigan, 2005) berdasarkan fase kemajuan perekonomian mengklasifikasikan region/wilayah menjadi 3, yaitu sebagai berikut.
1. Fase pertama yaitu wilayah formal yang berkenaan dengan keseragaman / homogenitas. Wilayah formal adalah suatu wilayah geografik yang seragam menurut kriteria tertentu, seperti keadaan fisik geografi, ekonomi, sosial dan politik.
2. Fase kedua yaitu wilayah fungsional yang berkenaan dengan koherensi dan interdependensi fungsional, saling hubungan antar bagian-bagian dalam wilayah tersebut. Kadang juga disebut wilayah nodal atau polarized region dan terdiri dari satuan-satuan yang heterogen, seperti desa-kota yang secara fungsional saling berkaitan.
3. Fase ketiga yaitu wilayah perencanaan yang memperlihatkan koherensi atau kesatuan keputusan-keputusan ekonomi.
Menurut Saefulhakim, dkk (2002) wilayah adalah satu kesatuan unit geografis yang antar bagiannya mempunyai keterkaitan secara fungsional. Wilayah berasal dari bahasa Arab “wālā-yuwālī-wilāyah” yang mengandung arti dasar “saling tolong menolong, saling berdekatan baik secara geometris maupun similarity”. Contohnya: antara supply dan demand, hulu-hilir. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan pewilayahan (penyusunan wilayah) adalah pendelegasian unit geografis berdasarkan kedekatan, kemiripan, atau intensitas hubungan fungsional (tolong menolong, bantu membantu, lindung melindungi) antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya.
Wilayah Pengembangan adalah pewilayahan untuk tujuan pengembangan / pembangunan / development. Tujuan-tujuan pembangunan terkait dengan lima kata kunci, yaitu (1) pertumbuhan; (2) penguatan keterkaitan; (3) keberimbangan; (4) kemandirian; dan (5) keberlanjutan. Sedangkan konsep wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan sifat-sifat tertentu pada wilayah tersebut yang bisa bersifat alamiah maupun non alamiah yang sedemikian rupa sehingga perlu direncanakan dalam kesatuan wilayah perencanaan.
Pembangunan merupakan upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik.
Sedangkan menurut Anwar (2005), pembangunan wilayah dilakukan untuk mencapai tujuan pembangunan wilayah yang mencakup aspek-aspek pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan yang berdimensi lokasi dalam ruang dan berkaitan dengan aspek sosial ekonomi wilayah. Pengertian pembangunan dalam sejarah dan strateginya telah mengalami evolusi perubahan, mulai dari strategi pembangunan yang menekankan kepada pertumbuhan ekonomi, kemudian pertumbuhan dan kesempatan kerja, pertumbuhan dan pemerataan, penekanan kepada kebutuhan dasar (basic need approach), pertumbuhan dan lingkungan hidup, dan pembangunan yang berkelanjutan (suistainable development).
Pendekatan yang diterapkan dalam pengembangan wilayah di Indonesia sangat beragam karena dipengaruhi oleh perkembangan teori dan model ekonomi berkelanjutan melalui penyebaran penduduk lebih rasional, meningkatkan kesempatan kerja dan produktifitas (Mercado, 2002).
Menurut Direktorat Pengembangan Kawasan Strategis, Ditjen Penataan Ruang, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2002) prinsip-prinsip dasar dalam pengembangan wilayah adalah sebagai berikut.
1. Sebagai growth center, pengembangan wilayah tidak hanya bersifat internal wilayah, namun harus diperhatikan sebaran atau pengaruh (spred effect) pertumbuhan yang dapat ditimbulkan bagi wilayah sekitarnya, bahkan secara nasional.
2. Pengembangan wilayah memerlukan upaya kerjasama pengembangan antar daerah dan menjadi persyaratan utama bagi keberhasilan pengembangan wilayah.
3. Pola pengembangan wilayah bersifat integral yang merupakan integrasi dari daerah-daerah yang tercakup dalam wilayah melalui pendekatan kesetaraan.
Dalam pengembangan wilayah, mekanisme pasar harus juga menjadi prasyarat bagi perencanaan pengembangan kawasan. Dalam pemetaan strategic development region, satu wilayah pengembangan diharapkan mempunyai unsur-unsur strategis antara lain berupa sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan infrastruktur yang saling berkaitan dan melengkapi sehingga dapat dikembangkan secara optimal dengan memperhatikan sifat sinergisme di antaranya (Direktorat Pengembangan Wilayah dan Transmigrasi, 2003).
Geografi dan Pembangunan Wilayah
Cabang Geografi ini adalah cabang yang relatif baru. Dikembangkan pada sekitar tahun 1980-an oleh para Geografiwan Eropa, terutama dari Nederland. Saat kerjasama Universitas antar kedua negara dilakukan, sejumlah ahli Geografi asal Belanda ikut serta dalam program pencangkokan dosen di UGM. Hasilnya adalah lahirnya program studi baru bernama Program Studi Perencanaan Pengembangan Wilayah dan sekarang lebih dikenal dengan Program Studi Pengembangan Wilayah. Sebelum berdiri menjadi disiplin tersendiri yang memadukan Ilmu Geografi dengan Ilmu Perencanaan Wilayah, proyek ini dikenal dengan nama Rural and Regional Development Planning (RRDP). Selain itu dapat dijelaskan bahwa perencanaan dan pengembangan wilayah dapat berkaitan dengan ilmu-ilmu sosial terutama terkait dengan fenomena sosial yang terjadi di masyarakat, sehingga sangat bersinggungan dengan konsep-konsep dan teori-teori sosial yang ada
(http://id.wikipedia.org/wiki/Geografi)
(http://id.wikipedia.org/wiki/Geografi)
Langganan:
Postingan (Atom)