shine on

shine on
lestari bumi bukanlah mimpi

Selamat Datang

Wilujeng Sumping, Sugeng Rawuh, Welcome......

Mengenai Saya

Foto saya
Kuningan, Jawa barat, Indonesia
Iwan Mulyawan, M.Sc jebolan Konsentrasi Perencanaan Pembangunan Wilayah Prodi Geografi Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Jogjakarta. Sekarang bekerja di Badan Perencanaan Pembangunan Wilayah... Suka berdiskusi tentang isue-isue wilayah yang aktual demi pengembangan keilmuan dalam wacana kewilayahan

Selasa, 15 Juni 2010

KAWASAN PERUNTUKKAN PERDAGANGAN DAN JASA

Kawasan peruntukan perdagangan dan jasa memiliki fungsi antara lain:
1) Memfasilitasi kegiatan transaksi perdagangan dan jasa antar masyarakat yang membutuhkan (sisi permintaan) dan masyarakat yang menjual jasa (sisi penawaran);
2) Menyerap tenaga kerja di perkotaan dan memberikan kontribusi yang dominan terhadap PDRB.
b) Kriteria umum dan kaidah perencanaan:
1) Peletakan bangunan dan ketersediaan sarana dan prasarana pendukung disesuaikan dengan kebutuhan konsumen;
2) Jenis-jenis bangunan yang diperbolehkan antara lain:
a) bangunan usaha perdagangan (eceran dan grosir): toko, warung, tempat perkulakan, pertokoan, dan sebagainya;
b) bangunan penginapan: hotel, guest house, motel, dan penginapan lainnya;
c) bangunan penyimpanan dan pergudangan: tempat parkir, gudang;
d) bangunan tempat pertemuan: aula, tempat konferensi;
e) bangunan pariwisata/rekreasi (di ruang tertutup): bioskop, area bermain.
3) Pemanfaatan ruang di kawasan peruntukan perdagangan dan jasa diperuntukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dengan tetap memelihara sumber daya tersebut sebagai cadangan pembangunan yang berkelanjutan dan tetap memperhatikan kaidah-kaidah pelestarian fungsi lingkungan hidup.
5 Ketentuan teknis
Ketentuan teknis ini berisi karakteristik lokasi dan kesesuaian lahan, kriteria serta batasan teknis kawasan budi daya.

a) Karakteristik lokasi dan kesesuaian lahan:
1) Tidak terletak pada kawasan lindung dan kawasan bencana alam;
2) Lokasinya strategis dan mudah dicapai dari seluruh penjuru kota;
3) Dilengkapi dengan sarana antara lain tempat parkir umum, bank/ATM, pos polisi, pos pemadam kebakaran, kantor pos pembantu, tempat ibadah, dan sarana penunjang kegiatan komersial serta kegiatan pengunjung;
4) Terdiri dari perdagangan lokal, regional, dan antar regional.

b) Kriteria dan batasan teknis:
1) Pembangunan hunian diijinkan hanya jika bangunan komersial telah berada pada persil atau merupakan bagian dari Izin Mendirikan Bangunan (IMB);
2) Penggunaan hunian dan parkir hunian dilarang pada lantai dasar di bagian depan dari perpetakan, kecuali untuk zona-zona tertentu;
3) Perletakan bangunan dan ketersediaan sarana dan prasarana pendukung disesuaikan dengan kelas konsumen yang akan dilayani;
4) Jenis-jenis bangunan yang diperbolehkan antara lain:
a) bangunan usaha perdagangan (ritel dan grosir): toko, warung, tempat perkulakan, pertokoan;
b) bangunan penginapan: hotel, guest house, motel, hostel, penginapan;
c) bangunan penyimpanan: gedung tempat parkir, show room, gudang;
d) bangunan tempat pertemuan: aula, tempat konferensi;
e) bangunan pariwisata (di ruang tertutup): bioskop, area bermain.


____DARI BERBAGAI SUMBER_____

Sabtu, 12 Juni 2010

GENDER DALAM KEMISKINAN DAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN

Krisis Ekonomi yang melanda Indonesia telah berdampak pada turunnya standar hidup dan peningkatan jumlah kemiskinan. Pada saat transisi ekonomi, perempuan memiliki peluang yang lebih besar dalam peningkatan kemiskinan dan ketidakterjaminan kehidupannya. Sebagai contoh ketika pemutusan hubungan kerja terjadi, dalam mendapatkan pekerjaan lagi perempuan akan lebih sulit dalam mendapatkannya dari pada laki-laki.

Kebijakan stabilitas ekonomi seringkali tidak peka terhadap masalah kemiskinan, khususnya kemiskinan perempuan. Kebijakan pembangunan seringkali hanya difokuskan pada peningkatan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan masalah kemiskinan dianggap akan dapat diatasi dengan adanya “ rembesan kebawah” (trickle down effect)” dari pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Kesadaran akan keberadaan dan peran penting masalah gender dalam permasalahan pembangunan ekonomi dan kebijakan pengentasan kemiskinan ini telah disadari oleh masyarakat internasional dengan disepakatinya deklarasi milenium, yang didalmnya termasuk disepakatinya delapan agenda tujuan pembangunan di era milenium (lebih dikenal dengan istilah Millenium Development Goals (MDGs)).

Masalah gender kadang sering dilupakan atau dianggap tidak ada. Kalaupun ada hal itu seringkali hanyalah merupakan sub bagian dari penanganan kemiskinan. Kebanyakan kebijakan ekonomi diformulasikan dan diimplementasikan dengan cara yang dianggap tampak netral gender. Namun ketika ditelaah lebih dekat, seungguhnya hal tersebut ditandai oleh banyaknya bias gender (Elson 1993. Berdasarkan kenyataan tersebut maka perlu ada perubahan atau perbaikan terhadap ilmu ekonomi dan setiap kebijakan pembangunan dan pengentasan kemiskinan.

Ada beberapa argumentasi yang dikemukakan untuk mendukung pentingnya fokus terhadap masalah gender dalam kemiskinan : Perempuan lebih miskin dan terdeprivasi dibanding laki–laki. Oleh karena itu diperlukan suatu fokus gender untuk alasan keadilan (gender equity). Menyatakan bahwa walapun perempuan sama miskinnya dengan laki–laki, sehingga tidak perlu ada perlakuan khusus maka investasi pada sektor sosial yang diarahkan kepada perempuan dapat dibenarkan jika tingkat pengembalian sosial dari investasi itu lebih tinggi jika diberikan kepada laki–laki.

Perhatian terhadap keadilan gender sebenarnya tidak hanya atas alasan keadilan, tetapi juga karena pertimbangan efisiensi. Pemberian investasi sosial yang lebih ditargetkan pada perempuan dibanding laki–laki, sesungguhnya bukan karena alasan keadilan semata tetapi lebih penting lagi karena alasan efisiensi.

Dibandingkan dengan pendidikan untuk laki-laki, pendidikan perempuan lebih memiliki dampak positif yang lebih besar. Hal ini disebabkan oleh faktor; anak-anak memiliki waktu yang lebih intensif bersama ibunya dan nilai waktu bersama itu akan meningkat akan memperlambat waktu perempuan untuk menikah, pendidkan akan meningkatkan efisiensi kontrasepsi perempuan, pendidikan akan meningkatkan kontrol perempuan terhadap fertilitas.

Pendidikan orang tua memiliki dampak yang menguntungkan pada kesehatan anak, karena hal tersebut mendorong penggunaan input-input kesehatan dan sanitasi. Perubahan perilaku atau penambahan informasi yang dimiliki oleh ibu lebih memiliki dampak langsung dalam penghasuhan anak, sebab ibu melaksanakan tanggung jawab yang lebih besar dalam kewajiban ini. Pendidikan ibu lebih memiliki pengaruh positif pada pendidikan dan cara pandang anak diturunkan dari lebih menghabiskan waktunya bersama ibunya dibanding dengan ayahnya.

Permasalahan gender sebenarnya berawal dari bagaimana konsep ekonomi didefinisikan, baik dalam tatanan teknis ataupun pembicaraan sehari-hari. Dalam kasus ini ekonomi seringkali hanya direduksi pada hal-hal yang berkaitan dengan materi atau uang saja, baik itu dalam bentuk gaji atau upah, bunga, sewa atau keuntungan (harga pencerminan dari kelangkaan).

Permasalahan kemiskinan, khususnya kemiskinan perempuan, masih terjadi karena kebijakan pembangunan dan reformasi ekonomi yang selama ini telah dilakukan kurang peka terhadap masalah kemiskinan Berkaitan dengan kemiskinan perempuan banyak aspek yang berkaitan dengan keadilan gender akan mempengaruhi perbedaan dalam dimensi kemiskinan, intervensi pemerintah yang memajukan keadilan gender menjadi sangat penting, dalam penyusunan startegi dan aksi untuk mencapai tujuan kebijakan pengentasan kemiskinan. Perhatian terhadap masalah keadilan gender bukan hanya karena alasan keadilan (equity), tetapi juga karena alasan efisiensi. Perlunya suatu integrasi keadilan gender dalam kebijakan pembangunan dan pengentasan kemiskinan menjadi syarat mutlak untuk mencapai target pengentasan kemiskinan.

__dari berbagai sumber__

Senin, 29 Maret 2010

Central Business District (CBD)

Central Business District (CBD) atau Daerah Pusat Kegiatan (DPK) adalah bagian kecil dari kota yang merupakan pusat dari segala kegiatan politik, sosial budaya, ekonomi dan teknologi. Central Business District memiliki ciri-ciri yang membedakannya dari bagian kota yang lain. Ciri-ciri tersebut adalah :
a.Adanya pusat perdagangan, terutama sektor retail.
b.Banyak kantor-kantor institusi perkotaan.
c.Tidak dijumpai adanya industri berat/manufaktur.
d.Permukiman jarang, dan kalaupun ada merupakan permukiman mewah(apartemen)sehingga populasinya jarang.
e.Ditandai adanya zonasi vertikal yaitu banyak bangunan bertingkat yang memiliki diferensiasi fungsi.
f.Adanya pedestrian yaitu suatu zona yang dikhususkan untuk pejalan kaki karena sering terjadi kemacetan lalu lintas. Tetapi zona ini baru ada di negara-negara maju.
g.Adanya “ multi storey “ yaitu perdagangan yang bermacam-macam dan ditandai dengan adanya supermarket/mall.
h.Sering terjadi masalah penggusuran untuk redevelopment/renovasi bangunan.
Central Business District ini terdiri dari dua bagian, yaitu :
1.Bagian paling inti (the heart of the area) yang disebut RBD (Retail Business District). Dominasi kegiatan pada bagian ini adalah “ department stores, smartshops, office building, clubs, banks, hotels theatres and headquarters of economic, social, civic and political life.” Pada kota-kota yang kecil fungsi-fungsi tersebut berbaur satu sama lain, namun untuk kota besar fungsi-fungsi tersebut menunjukkan diferensiasi yang nyata.
2.Bagian di luarnya yang disebut WBD (Wholesale Business District ). Daerah ini ditempati bangunan yang digunakan untuk kegiatan ekonomi dalam jumlah yang besar seperti pasar, pergudangan (warehouse), gedung penyimpan barang supaya tahan lebih lama (storage building).


----dari berbagai sumber-------

Kamis, 18 Maret 2010

What is Urban Upgrading ?

Oleh : The World Bank Group (Upgrading Urban Communities)
Komentar : Iwan Mulyawan, M.Sc

Dalam tulisan ini diulas tentang timbulnya permukiman kumuh sebagai akibat dari adanya migrasi dari luar sebagai dampak dari adanya kesenjangan antara perdesaan dengan perkotaan dalam hal ketersediaan lapangan pekerjaan dan tingkat upah. Faktor lain yang ikut mendorong masuknya para imigran ke kota adalah fasilitas untuk pendidikan yang lebih baik daripada di daearah asalnya. Sebuah faktor yang memang diharapkan akan memberikan penghidupan yang lebih baik bari para migran itu sendiri. Dan masalah ini telah dibahas dalam beberapa konferensi internasional mengenai studi sosio-ekonomi.
Beberapa pengarahan maupun penerangan baik secara terjadwal maupun tidak ke daerah permukiman kumuh dan permukiman. Siapa yang memulai memukimi daerah tersebut dan memulai mendirikan lapak-lapak yang tidak layak huni berupa bangunan non permanen bahkan ada dari mereka yang mendirikan rumah secara permanen tanpa mereka sadari tanah ini milik siapa dan apa akibatnya bagi lingkungan dan hubungannya dengan tata ruang kota. Untuk menghindari adanya penggusuran, mereka membentuk suatu wadah organisasi yang sifatnya melindungi daerah kumuh mereka. Fungsi dari pembentukan organisasi ini adalah untuk melindungi pemukiman kumuh dan liar mereka dari penggusuran dan pengusiran oleh aparat yang berwenang.
Banyak dari mereka yang diusir dan digusur dengan alasan karena bersinggungan dengan kepentingan yang bersifat komersial. Dan ini menyangkut dengan masalah hak kekayaan dan keadilan. Kebanyakan dari daerah kumuh yang digusur itu telah mereka diami selama berpuluh-puluh tahun. Dan tentunya pemerintah dengan disokong oleh para pemegang modal akan menggusur mereka, walaupun nantinya ada salah satu pihak ( dalam hal ini para penghuni permukiman liar atau kumuh ) merasa dirugikan. Dan apabila diberikan uang sebagai ganti atas lahan dan rumah yang digusur tadi, tentunya harus dengan pilihan mereka sendiri dan keuntungannya mereka tentukan sendiri berdasarkan harga pasar. Dari pengalaman yang ada telah menunjukkan bahwa mereka lebih senang tinggal di daerah mereka sendiri walaupun kondisinya lebih buruk.
Dari poin yang telah dipaparkan di atas jelaslah terlihat adanya pengaruh positif bahwa keaneka ragaman dari karakteristik sosial di kota sangat besar. Pengalaman yang terjadi di kota-kota barat telah terjadi penurunan populasi daerah permukiman walaupun dengan cara setengah memaksa namun telah mendapatkan hasil dengan terjadinya penurunan jumlah permukiman kumuh dan cenderung dikota tersebut sudah mulai tidak terlihat lagi ada permukiman kumuh. Para pengembang ( dalam hal ini bisa disebut dengan pemilik modal ) akan selalu mencari, dan membayar lebih untuk daerah atau kawasan yang akan mereka gunakan untuk kepentingan komersialnya. Mereka membeli tanah dengan harga pasar sebagai ganti rugi atas pemindahan hak milik atas lahan tersebut. Fenomena ini saling bertolak belakang dengan apa yang terjadi di Asia yang kotanya lebih mementingkan tujuan pembangunannya untuk komersil daripada pembangunan rakyat bawah.
Di sisi lain penulis mengungkapkan bahwa kebanyakan di daerah pusat kota daerah pemukiman kumuhnya sangat padat, jumlahnya antara 600 sampai dengan 1800 orang dalam satu hektarnya. Pembangunan di daerah tersebut tidak akan mampu untuk kepadatan sebesar itu Permasalahan pada daerah kumuh adalah masalah sosial ekonomi mereka, disamping itu faktor lingkungan dan keamanan. Selain itu, permukiman kumuh mempunyai aktivitas sosial manusia yang lebih tinggi dari pada daerah permukiman, industri dan perdagangan di sekitarnya. Sebuah situasi bagi Pemerintah kota dan perencana tata ruang kota untuk menata ulang kembali kotanya.
Ada satu isu yang mengatakan bahwa tingkatan kepemilikan lahan dan hasil penjualan lahan dari para korban penggusuran yang mana yang kaya akan semakin kaya adalah suatu masalah nyata. Kecuali jika ada kesimpangsiuran tentang hak milik lahan tersebut, dan apabila hak milik lahan itu masih samar, maka akan terasa sulit untuk mengusir mereka dari lahan tempat tinggalnya itu. Pemindahan kepemilikkan lahan dari para penghuni ke penanam modal ( masalah harga) dapat diusahakan secara kekeluargaan. Untuk program pembangunan suatu daerah memerlukan parameter untuk penataan kembali ruang dan lahan kota tersebut. Dalam program pembangunan daerah dan masyarakat yang telah berhasil melaksanakan program ini adalah Filipina. Para penghuni harus lebih dulu mempunyai surat hak atas kepemilikan lahan yang jelas, apakah lahan yang mereka tempati itu merupakan tanah milik pribadi atau milik negara ( pemerintah ) dan adanya metode ganti rugi atas penjualan tanahnya, kebebasan dalam menentukan dijual tidaknya lahan dan menentukkan harga lahannya sesuai dengan harga pasar.
Para penghuni permukiman kumuh menggunakan sumber daya mereka sendiri untuk meningkatkan kesejahteraan hidup mereka dan juga memberikan jaminan keamanan bagi mereka sendiri. Tak seorangpun dari mereka, yang menabung uangnya guna memperbaiki rumahnya dan itu disebabkan karena tanah milik orang lain, yang pada setiap waktu bisa mengambil haknya tersebut. Ketika kondisi keamanan telah stabil, pemerintah akan mengeluarkan dana 2 sampai 4 kali untuk meningkatkan infrastruktur daerah kumuh tersebut. Pemerintah akan membangun permukiman baru untuk disewa dan hasil uang sewaannya akan meningkatkan pendapatan daerah tersebut.

Suatu nilai lebih bagi para penduduk kota yang tidak tinggal di daerah kumuh adalah : 1) mereka akan mempertahankan tanah mereka agar tidak dirampas oleh para penghuni yang tergusur ii) pusat kota mempertahankan vitalitas nya, dan iii) mereka menghindari ghettoisasi, kejahatan dan anomi sosial sebagai usaha untuk meruntuhkan area yang tidak enak dipandang dan menyembunyikan yang lemah / miskin.

Rabu, 17 Maret 2010

Konversi Lahan Harus Diikuti Komitmen Politik

Oleh :Agus Susanto (Kompas Cyber Media 14 Agustus 2002)
Komentar: Iwan Mulyawan, M.Sc

Dengan sebuah tulisan yang berjudul “Konversi Lahan harus diikuti komitmen politik“ inilah penulis berusaha mengupas secara jelas bagaimana komitmen politik dari pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (pemda) tentang terjadinya konversi lahan pertanian menjadi lahan industri, perumahan, atau fungsi lain di Pulau Jawa yang semakin cepat dan tidak akan terbendung.
Dalam tulisan ini, penulis berusaha menyuguhkan bagaimana terjadinya benturan kepentingan pada pemerintah yang berada diantara dua sisi kepentingan. Di satu pihak pemerintah dalam otonomi daerah harus berupaya untuk menarik investor tapi dilain pihak pemerintah merasa kedodoran karena tingginya nilai konversi lahan di daerah yang semula merupakan lahan pertanian beralih menjadi lahan untuk pembangunan industri dan sarana infrastruktur lainnya. Satu sisi infrastruktur tersebut dibutuhkan (jalan atau perumahan), namun di sisi lain mendorong penyempitan lahan pertanian yang ada.
Penulis mengambil opini dari ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, yang juga Kepala Pusat Studi Asia Pasifik UGM, Dibyo Prabowo, yang mengatakan sudah terlambat dan tak mudah untuk dicapai upaya untuk menghentikan konversi lahan karena ada aturan lain yang lebih besar, yaitu
1.aturan mengenai tata ruang yang tak pernah diikuti secara konsisten,
2.kondisi pemerintah daerah yang tak punya alat dan cara untuk mengatakan tidak kepada industriwan
3.apalagi ditambah dengan era otonomi daerah, mereka justru berupaya keras untuk menarik sebanyak mungkin investor.
Siswono mengajukan jalan keluar untuk mengatasi timbulnya konversi lahan dengan cara :
1.Menerapkan peraturan tata ruang secara tegas, termasuk soal peruntukannya selain itu pemerintah perlu menegakkan tata ruang yang ada dan membuat zonasi yang ketat.
2.Membuka areal baru di luar Pulau Jawa yang diikuti dengan program transmigrasi dengan mengandalkan mekanisasi pertanian dan petani diberi tanah di atas empat hektar.
Di bagian lainnya penulis mengambil opini dari Sediono yang mengatakan meskipun sudah ada Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 yang dipetieskan pada masa Soeharto dan Ketetapan (Tap) MPR Nomor 9 Tahun 2001 tentang Reformasi Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA), jika pemerintah dan aparat tidak tegas, land reform tidak akan berhasil. Ia meyakini, sekalipun ada perintah dari Presiden untuk menghentikan alih fungsi lahan pertanian subur, tanpa penegakan hukum (law enforcement), tetap akan muncul pertikaian memperebutkan lahan pertanian. Sebab, sejak dulu sektor industri membutuhkan lahan pertanian yang subur dan berdekatan dengan sungai atau jaringan irigasi guna mendapatkan sumber air dan saluran pembuangan. Itu sebabnya, lahan pertanian di Jawa menyusut pesat.
Lain pula dengan opini Sudibyo, Sudibyo mengatakan langkah untuk menanggulangi terjadinya konversi lahan adalah dengan :
1.pemerintah memberi pajak pada tanah yang menganggur ( agar yang punya tentu akan berupaya menanaminya atau berpikir dulu sebelum membeli tanah ),
2.harus ditegaskan bahwa definisi tentang pangan itu bukan hanya beras, tetapi ''beras plus'', sehingga lahan kosong tak hanya ditanami dengan padi, tetapi bisa tanaman lain seperti kentang, sagu, jagung atau ketela, jika definisi pangan adalah hanya beras, maka Indonesia tak bisa dikatakan memiliki ketahanan pangan. Namun, sebaliknya, jika yang dimaksud dengan pangan adalah ''pangan plus'', maka Indonesia bisa dikatakan memiliki ketahanan pangan.
3.Pemerintah harus menurunkan tingkat konsumsi beras per kapita.
Salah satu contoh kasus percepatan konversi lahan pertanian ke fungsi lain bisa dilihat di lumbung padi Karawang, Jawa Barat. Sejak tahun 1999 hingga sekarang, di daerah itu dibangun jalan lingkar dengan panjang 14 kilometer dan lebar 40 meter. Sejak pembuatan jalan yang melalui sawah beririgasi teknis di bagian utara kota itu dimulai, banyak penduduk menjual tanah sawah mereka sehingga lahan pertanian terancam beralih fungsi. Harga tanah di sekitar jalan itu, yang semula berkisar antara Rp 30.000-Rp 40.000 per meter persegi, sekarang melonjak menjadi Rp 60.000 hingga Rp 125.000 per meter persegi. Padahal, tanah ini semula adalah tanah subur beririgasi teknis bergolongan satu, yang berarti merupakan sawah yang mendapat pasokan air pertama kali saat musim tanam.
Dari uraian artikel yang diungkapkan penulis di atas maka penyusun menilai bahwa memang benar telah terjadi konversi lahan yang berlebihan sehingga lahan pertanian di Pulau Jawa cenderung mengalami penyusutan yang cukup pesat hal ini tidak sebanding dengan tingkat pertumbuhan penduduk Pulau Jawa yang cepat. Oleh karenanya saran penyusun kepada penulis dalam artikel ini selain memang benar adanya saran da opini dari para pakar tetapi hendaknya penulis menerangkan sisi positif dari adanya konversi lahan yang tidak selamanya akan merugikan masyarakat. Banyak diantara masyarakat yang menjual lahan pertaniannya dengan harga tinggi bahkan berlipat-lipat untuk kembali membeli lahan baru dengan lahan yang lebih luas dari sebelumnya dengan harga yang relatif rendah dengan produktivitas yang tinggi pula. Jika pemerintah tetap mengedepankan lahan pertanian yang tak boleh diganggu gugat oleh pihak investor, maka yaklinlah Indonesia akan tetap bejibaku sebagai negara pertanian yang dalam konteks percaturan dunia sebagai negara miskin akan pendapatan negara. Dan jika penulis tetap pada pendiriannya bahwa di Pulau Jawa jangan sampai terjadinya konversi di daerah subur adalah sah namun disisi lain mustahil adanya jika para investor harus membangun modalnya di daerah tandus yang jauh dari pusat pertumbuhan kota. Yang terpenting menurut saya sebagai seorang geograf tidak selamanya konversi lahan berakibat buruk bagi kondisi sosial ekonomi masyarakat asalkan ada lahan pengganti yang subur dengan membuka lahan pertanian baru dengan tetap mengedepankan nilai kelestarian lingkungan. Bagaimanapun juga pembangunana sarana infrastruktur harus tetap dijalankan karena ini menyangkut harkat hidup orang banyak.
Saya sependapat dengan Sediono yang tetap pada pendiriannya bahwa konversi lahan harus di lahan yang tidak subur, namun perlu ditinjau pula dari segi ketersediaan keruangan lahan yang tidak subur tersebut dari ketersediaan SDA dan kemudahan dalam akses ke pasar atau tempat lain.
Yang terpenting bagi kita bagaimana kita harus mencari sistem pemecahan masalah ini yang tidak akan berdampak buruk bagi sistem lainnya. Peranan pemerintah, investor, masyarakat dalam hal ini para petani dalam konversi lahan demi tidak adanya kepentingan yang merasa dirugikan sangat menentukan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya. Setuju atau tidak tergantung bagaimana menyikapinya !!!!

Implikasi Desentralisasi Ekonomi Terhadap Manajemen Perkotaan

Penulis : Bambang Brodjonegoro (Urban and Regional Institute,13 September 2000)
Komentar : Iwan Mulyawan, M.Sc

Dalam tulisannya yang berjudul “Implikasi Desentralisasi Ekonomi Terhadap Manajemen Perkotaan“ mengulas tentang pemberian wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri tanpa campur tangan dari pihak manapun kaitannya dengan manajemen perkotaannya.
Di bagian awal tulisannya penulis menjabarkan tentang landasan hukum dari pelaksanaan desentralisasi itu sendiri yakni berdasar kepada Peraturan Pemerintah No 22 tahun 2000 yang mempunyai pengaruh besar pada pelaksanaan di tingkat pemerintah daerah. Undang-undang No. 22 / 1999 pasal 11 ayat 2 ( pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja), Undang-undang No. 18/97 tentang pajak dan retribusi daerah demikian juga dengan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP). Dari uraian penulis tentang landasan pelaksanaan otonomi daerah tersebut diatas dapat dilihat bahwa penulis terlihat sangat berhati-hati dalam mengutarakan segala argumennya karena hal ini berhubungan secara langsung dengan politik baik secara umum dengan pemerintah pusat maupun dalam skala cakupan yang khusus yakni pemerintah daerah itu sendiri.
Pada kesempatan lainnya penulis memaparkan sisi positif dan negatifnya dari pelaksanaan desntralisasi itu sendiri yakni :
1.Segi positifnya terjadi di daerah perkotaan, sebagai contoh di DPRD akan mempunyai kekuatan yang sangat besar dalam bentuk pengawasan pemerintahan yang lebih efektif dan ketat dan kota akan mempunyai kesempatan menambah jenis pajak dan retribusi baru yang dianggap potensial serta berbiaya pungut rendah. Di luar itu, pemerintah kota relatif masih tergantung pada hubungan keuangan dengan pusat melalui bagi hasil pajak, bagi hasil sumber daya alam, dan dana alokasi umum. Adanya rencana untuk membagi 20% penerimaan PPh pribadi untuk daerah bersangkutan juga merupakan alternatif sumber penerimaan yang potensial.
2.Sisi negatifnya adalah DPRD cenderung menciptakan ketidakstabilan pemerintahan atau DPRD sendiri berkolusi dengan pihak pemda. Sisi lainnhya adalaha adanya egoisme daerah berkaitan dengan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal akan muncul, terutama antara kota dan kabupaten yang bertetangga dan praktis terikat satu sama lain secara historis (misalnya Tangerang, Bekasi, Bogor, Bandung, dll.). Egoisme akan muncul dalam upaya menghalangi mobilitas penduduk atau barang antar daerah atau juga dalam bentuk perebutan sumber potensial penerimaan daerah, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam. Kewenangan perizinan penanaman modal kepala daerah, menyebabkan persaingan yang ketat antar daerah atau antarkota dalam menarik investasi domestik dan asing masuk ke daerahnya. Investasi yang sudah ada pun belum tentu tetap berada di suatu daerah apabila ada tawaran insentif yang lebih menarik dari daerah atau kota lain. Perpindahan penduduk dengan pola migrasi baru sebagai akibat desentralisasi ekonomi dengan kecenderungan migrasi masuk ke daerah atau kota yang dianggap dapat menciptakan aktivitas ekonomi yang tinggi. Dengan demikian maka dapat diperkirakan bahwa urbanisasi akan tetap tinggi, khususnya dalam jangka pendek.

Selain meninjau dari kedua segi tadi, penulis memberikan sebuah alternatif berupa jalan keluar yakni pada sosok walikota yang merupakan pilihan dari bawah atau dari masyarakat melalui DPRD, dan tidak lagi merupakan dropping dari pusat, sehingga pada era desentralisasi Walikota bukan lagi berjiwa birokrat, tetapi sudah berjiwa manajer profesional.
Adapun antisipasi yang diberikan oleh penulis berkaitan dengan manajemen perkotaan berupa kebijan – kebijakan sebagai berikut :
1.Mencegah kolusi antara pihak eksekutif dan legislatif
2."Money politik" dalam proses pemilihan walikota harus dicegah agar dapat dihasilkan pemilihan yang jujur.
3.Penambahan pajak dan retribusi baru.
4.Upaya perbaikan pelayanan publik tidak harus disertai dengan upaya penggalian sumber penerimaan baru.
5.Transparansi dan akuntabilitas yang menyertai proses desentralisasi ini berimplikasi tanggung jawab pemda terhadap masyarakat yang semakin besar.
6.Mengantisipasi egoisme daerah.
7.Membentuk suatu unit statistik untuk daerah metropolitan yang sifatnya lintas wilayah administratif.
8.Kebijakan berdasarkan unit metropolitan.
9.Investasi harus menjadi satu prioritas pemerintah kota.
10.Upaya meningkatkan penerimaan pemerintah kota tidak harus terfokus pada PAD.
11.Pemerintah kota lebih berkonsentrasi pada manajemen aktivitas perkotaan, sekaligus melibatkan daerah-daerah penyangga kota yang termasuk wilayah administratif lain.
12.Kota - kota besar yang ada tidak harus merasa terancam dengan rencana pengembangan kota-kota baru yang bersifat "supply-driven" di kabupaten terdekat.
13.Disarankan, tidak semua daerah perkotaan menjadi kota otonom, karena menjadi suatu unit otonom yang hanya bergantung pada transfer dana dari pusat atau propinsi hanya akan menjadi beban perekonomian makro.
14.Setiap kota harus mempunyai unit analisa ekonomi daerah yang dapat mengidentifikasi dampak dari setiap aktivitas ekonomi terhadap perekonomian kota berikut alokasi dampak sektoral, penciptaan lapangan kerja dan perbaikan pendapatan masyarakat
15.Pembentukan propinsi baru yang dimaksudkan untuk mengakomodasi perkembangan kota yang cepat dirasa masih belum diperlukan. Penekanan diberikan pada kerja sama antar daerah yang saling menguntungkan
Dari ringkasan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pada khususnya penulis sudah memaparkan secara baik mengenai permasalahan – permasalahan yang muncul ( sisi negatif ) dan sisi positifnya dari pelaksanaan otonomi daerah itu sendiri. Kedetailan dan luasnya pengetahuan tentang konsep desentralisasi penulis menjadi alasan utama mengapa penulis begitu paham akan pengaruh dari penerapan otonomi daerah terhadap manajemen perkotaan itu sendiri. Namun ada satu hal yang tidak terlihat dalam tulisan ini adalah penulis tidak terlalu menjelaskan secatra gamblang tentang kebijaksanaan yang akan diambil dan masalah-masalah apa saja yang akan timbul jika kebijaksanaan tersebut diambil. Penulis tidak terlalu mengindahkan apabila dilaksanakan suatu sistem maka akan berdampak pada terganggunya sistem lain. Otonomi daerah yang baru – baru ini dilaksanakan di Indonesia telah menimbulkan berbagai macam masalah yang multidimensional dan harus segera mencari solusinya agar program desentralisasi ini dapat dilanjutkan atau kembali ke sistem sentralisasi lagi.

Gejala Urban Sprawl Sebagai Pemicu Proses Densifikasi Permukiman di Daerah Pinggiran Kota

Oleh : Dr. Hj. Sri Rum Giyarsih, M.Si (Elissa UGM)
Komentar : Iwan Mulyawan, M.Sc


Dalam artikel ini penulis mencoba mengungkapkan adanya Urban Sprawl yang merupakan dampak dari perkembangan suatu kota. Adanya perkembangan kota ke bagian pinggiran, menyebabkan terjadinya perubahan atau pergeseran pola penggunaan lahan, dari lahan pertanian menjadi lahan non pertanian (dalam hal ini perumahan). Akibat dari adanya perubahan ini, daerah yang berada di pinggiran kota (Urban Fringe) mengalami pertambahan kepadatan penduduk, yang nantinya secara perlahan akan merubah karakteristik dari daerah ini menjadi bercirikan kota.
Artikel ini mengambil lokasi penelitian di daerah pinggiran perkotaan Yogyakarta. Dalam artikel ini disertakan berbagai argumentasi mengenai apa yang disebut Urban Fringe maupun Urban Sprawl. Dalam tulisan ini juga disertakan sebuah tabel yang menggambarkan terjadinya perubahan penggunaan lahan pertaniaan menjadi lahan non pertanian di daearh desa – desa pinggiran Kota Yogyakarta selama rentang waktu 1987 – 1996.
Menurut penulis artikel ini, yang menyebabkan terjadinya pemadatan penduduk di daerah Urban Fringe adalah adanya keterbatasan luas lahan yang diperuntukkan untuk kebutuhan tempat tinggal di daerah perkotaan. Padahal tuntutan kepemilikan atau kebutuhan akan tempat tinggal semakin lama semakin meningkat, sehingga daerah pinggiran kota merupakan sebuah alternatif bagi para penduduk kota untuk bertempat tinggal. Selain itu daerah ini merupakan daerah tujuan pertama dari para migran yang berasal dari dareah perdesaan sebelum masuk ke pusat kota.
Menurut penulis, yang menyebabkan terjadinya pemadatan penduduk di daerah pinggiran kota selain sebab – sebab di atas adalah, adanya kecenderungan sarana pendidikan, baik pendidikan tinggi (Universitas maupun Akademi) maupun pendidikan menengah dan dasar, mendirikan bangunan tempat pelaksanaan kegiatannya di daerah pinggiran kota. Hal ini trjadi sebab adanya keterbatasan luas lahan yang terdapat di daerah pusat kota Yogyakarta sendiri yang telah penuh sesak oleh berbagai fasilitas perdagangan dan pemerintahan.
Adanya kecenderungan ini (pembangunan sarana pendidikan), menyebabkan timbulnya berbagai dampak. Dampak utama yang akan menyertainya adalah akan bermunculannya berbagai jenis bangunan pondokan tempat menetap bagi para siswa maupun mahasiswa. Sementara dampak lainnya adalah akan timbulnya berbagai bentuk bangunan penunjang keberadaan pondokan, seperti adanya warung, pusat fotokopi, toko kelontong, serta berbagai aktifitas ekonomi lainnya. Hal ini secara tidak langsung akan berpengaruh untuk merubah keadaan baik secara sosial maupun ekonomi, bahkan budaya dari masyarakat asli yang terdapat di daerah tersebut. Adanya perubahan ini juga nantinya akan menyebabkan terjadinya pemadatan bangunan di daerah pinggiran kota. Adanya pemadatan bangunan di daerah pinggiran kota ini otomatis menandai terjadinya perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian menjadi lahan non pertanian.
Kesimpulan yang diambil oleh penulis adalah adanya gejala Urban Sprawl ke daerah Urban Fringe menyebabkan terjadinya konversi lahan dari pertanian menjadi non pertanian, yang kemudian diikuti oleh terjadinya perubahan keadaan sosial maupun ekonomi bahkan kultural bagi masyarakat asli daerah tersebut. Penulis beranggapan perlu adanya usaha dan tindakan baik secara kuratif maupun preventif untuk menghindari terjadinya dampak buruk dari keadaan ini.

Senin, 15 Maret 2010

PENATAAN WILAYAH PERMUKIMAN KUMUH BERBASIS KERAKYATAN (SEBUAH SOLUSI ATASI KEKUMUHAN WILAYAH)

I.PENDAHULUAN
Perkembangan permukiman di daerah perkotaan tidak terlepas dari pesatnya laju pertumbuhan penduduk perkotaan baik karena fakor pertumbuhan penduduk kota itu sendiri maupun karena faktor urbanisasi. Dampak negatif urbanisasi yang telah berlangsung selama ini lebih disebabkan oleh tidak seimbangnya peluang untuk mencari nafkah di daerah perdesaan dan perkotaan. Beberapa pengamat meyakini bahwa salah satu penyebab mengalirnya penduduk pedesaan ke kota-kota akibat kekeliruan adopsi paradigma pembangunan yang menekankan pada pembangunan industrialisasi besar-besaran yang ditempatkan di kota-kota besar yang kemudian dikenal dengan istilah AIDS (Accelerated Industrialization Development Strategy), sehingga memunculkan adanya daya tarik yang sangat kuat untuk mengadu nasibnya di kota yang dianggap mampu memberikan masa depan yang lebih baik dengan penghasilan yang lebih tinggi, sementara pendidikan dan ketrampilan yang mereka miliki kurang memadai untuk masuk disektor formal (Yunus, 2005).
Seiring dengan pertumbuhan penduduk di daerah perkotaan, maka kebutuhan penyediaan akan prasarana dan sarana permukiman akan meningkat pula, baik melalui peningkatan maupun pembangunan baru. Selanjutnya pemenuhan akan kebutuhan prasarana dan sarana permukiman baik dari segi perumahan maupun lingkungan permukiman yang terjangkau dan layak huni belum sepenuhnya dapat disediakan baik oleh masyarakat sendiri maupun pemerintah, sehingga kapasitas daya dukung prasarana dan sarana lingkungan permukiman yang ada mulai menurun yang pada gilirannya memberikan konstribusi terjadinya lingkungan permukiman kumuh. Akibat makin banyaknya permukiman kumuh dan liar yang pada gilirannya akan menjadi berat bagi pemerintah kota untuk menanganinya (Yunus, 2005).
Lingkungan permukiman kumuh di perkotaan di Indonesia merupakan permasalahan yang sangat kompleks, diantaranya adalah permasalahan yang berkaitan dengan kemiskinan, tingkat pendidikan masyarakat yang rendah, kesenjangan serta ketidakdisiplinan masyarakat terhadap lingkungannya maupun yang menyangkut kemampuan lembaga-lembaga pemerintahan kota/kabupaten dalam pengaturan, pengorganisasian tata ruang dan sumberdaya yang dimiliki kota dalam melaksanakan fungsinya sebagai pelayan masyarakat kota (Esmara,1975).
Lingkungan permukiman kumuh merupakan masalah yang terjadi atau sering dihadapi di kota besar, tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga berlangsung di kota-kota besar di dunia (Sri. P, 1988), begitupula di negara-negara berkembang di Asia dan Afrika, menurut publikasi World Bank (1999) lingkungan permukiman kumuh digambarkan sebagai bagian yang terabaikan dari lingkungan perkotaan dimana kondisi kehidupan dan penghidupan masyarakatnya sangat memprihatinkan, yang diantaranya ditunjukkan dengan kondisi lingkungan hunian yang tidak layak huni, tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, sarana dan prasarana lingkungan yang tidak memenuhi syarat, tidak tersedianya fasilitas pendidikan, kesehatan maupun sarana dan prasarana sosial budaya kemasyarakatan yang memadai, kekumuhan lingkungan permukiman cenderung bersifat paradoks, bagi masyarakat yang tinggal di lingkungan tersebut, kekumuhan adalah kenyataan sehari-hari yang tidak mereka masalahkan, sedangkan di pihak lain yang berkeinginan untuk menanganinya, masalah kumuh adalah suatu permasalahan yang perlu segera ditanggulangi penanganannya.
Dari fenomena tersebut dapat dipetik pelajaran bahwa penanganan lingkungan permukiman kumuh tidak dapat diselesaikan secara sepihak, tetapi harus secara sinergis melibatkan potensi dan eksistensi dari seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholders), baik Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota maupun masyarakat sendiri selaku penerima mamfaat, Pelaku dunia usaha, LSM/NGO, cerdik pandai dan pemerhati yang peduli. Apabila hal ini tidak disiapkan penanggulanganya sejak dini, maka masalah permukiman kumuh akan menjadi masalah ketidakmampuan kota dalam menjalankan perannya sebagai pusat pembangunan sosial, ekonomi dan politik (Sri.P, 1988).

II. DAMPAK WILAYAH PERMUKIMAN KUMUH
Lingkungan permukiman kumuh memberi dampak yang bersifat multi dimensi diantaranya dalam dimensi penyelenggaraan pemerintahan, tatanan sosial budaya, lingkungan fisik serta dimensi politis. Di bidang penyelenggaraan pemerintahan, keberadaan lingkungan permukiman kumuh memberikan dampak citra ketidakberdayaan, ketidakmampuan dan bahkan ketidakpedulian pemerintah terhadap pengaturan pelayanan kebutuhan-kebutuhan hidup dan penghidupan warga kota maupun pendatang dan pelayanan untuk mendukung kegiatan sosial budaya, ekonomi, teknologi, ilmu pengetahuan, dan sebagainya.
Dampak terhadap tatanan sosial budaya kemasyarakatan adalah bahwa komunitas yang bermukim di lingkungan permukiman kumuh yang secara ekonomi pada umumnya termasuk golongan masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah, seringkali dianggap sebagai penyebab terjadinya degradasi kedisiplinan dan ketidaktertiban dalam berbagai tatanan sosial kemasyarakatan (Sri. P, 1988).
Di bidang lingkungan/hunian komunitas penghuni lingkungan permukiman kumuh sebagian besar pekerjaan mereka adalah tergolong sebagai pekerjaan sektor informal yang tidak memerlukan keahlian tertentu, misalnya sebagai buruh kasar/kuli bangunan, sehingga pada umumnya tingkat penghasilan mereka sangat terbatas dan tidak mampu menyisihkan penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan perumahan dan permukiman sehingga mendorong terjadinya degradasi kualitas lingkungan yang pada gilirannya munculnya permukiman kumuh. Keberadaan komunitas yang bermukim di lingkungan permukiman kumuh ini akan cenderung menjadi lahan subur bagi kepentingan politis tertentu yang dapat dijadikan sebagai alat negosiasi berbagai kepentingan. Fenomena ini apabila tidak diantisipasi secara lebih dini akan meningkatkan eskalasi permasalahan dan kinerja pelayanan kota.
Upaya penanganan permukiman kumuh telah diatur dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman, yang menyatakan bahwa untuk mendukung terwujudnya lingkungan permukiman yang memenuhi persyarakatan keamanan, kesehatan, kenyamanan dan keandalan bangunan, suatu lingkungan permukiman yang tidak sesuai tata ruang, kepadatan bangunan sanggat tinggi, kualitas bangunan sangat rendah, prasaranan lingkungan tidak memenuhi syarat dan rawan, yang dapat membahayakan kehidupan dan penghidupan masyarakat penghuni, dapat ditetapkan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta yang bersangkutan sebagai lingkungan permukiman kumuh yang tidak layak huni dan perlu diremajakan.
Penanganan peremajaan lingkungan permukiman kumuh yang diatur dalam Inpres No. 5 tahun 1990, tentang pedoman pelaksanaan peremajaan permukiman kumuh diatas tanah negara dinyatakan bahwa pertimbangan peremajaan permukiman kumuh adalah dalam rangka mempercepat peningkatan mutu kehidupan masyarakat terutama bagi golongan masyarakat berpenghasilan rendah yang bertempat tinggal di kawasan permukiman kumuh yang berada di atas tanah negara. Hal ini disebabkan eksistensi permukiman kumuh tidak dapat dilepaskan dari ekosistim kota, dan justru merupakan potensi ketenagakerjaan yang menunjang tata perekonomian kota (Sri.P, 1988) Peremajaan permukiman kumuh dalam Inpres 5/90 tersebut adalah meliputi pembongkaran sebagian atau seluruh permukiman kumuh yang sebagian besar atau seluruhnya berada di atas tanah negara dan kemudian di tempat yang sama dibangun prasarana dan fasilitas rumah susun serta bangunan-bangunan lain sesuai dengan rencana tata ruang kota yang bersangkutan (Koestoer.R, 1997). Untuk mempercepat pelaksanaan peremajaan permukiman kumuh tersebut, perlu didorong keikutsertaan Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan dan Perusahaan Swasta serta masyarakat luas yang pelaksanaannya perlu dilakukan secara terkoordinasi dengan instansi-instansi terkait.
Selanjutnya kebijakan penanganan permukiman kumuh sesuai Surat Edaran Menpera No. 04/SE/M/I/93 tahun 1993, dinyatakan bahwa perumahan dan permukiman kumuh adalah lingkungan hunian dan usaha yang tidak layak huni yang keadaannya tidak memenuhi persyaratan teknis, sosial, kesehatan, keselamatan dan kenyamanan serta tidak memenuhi persyaratan ekologis dan legal administratif yang penanganannya dilaksanakan melalui pola perbaikan/pemugaran, peremajaan maupun relokasi sesuai dengan tingkat/ kondisi permasalahan yang ada.

III.TUJUAN KEGIATAN
Tujuan penataan ini adalah dalam rangka meningkatkan mutu kehidupan dan penghidupan, harkat, derajat, dan martabat masyarakat penghuni permukiman kumuh terutama golongan masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah melalui fasilitasi penyediaan perumahan layak dan terjangkau dalam lingkungan permukiman yang sehat dan teratur; serta mewujudkan kawasan permukiman yang ditata secara lebih baik sesuai dengan peruntukan dan fungsi sebagaimana ditetapkan dalam rencana tata ruang kota. Oleh karena kawasan seperti ini pada umumnya terdiri dari rumah yang berukuran kecil, berkepadatan sangat tinggi bahkan sudah sampai ke taraf death point maka upaya untuk membangun permukiman yang mampu mengakomodasikan semua keluarga dengan lingkungan yang nyaman, dengan ruang terbuka yang memadai baik untuk olah raga maupun untuk taman lingkungan maka jalan satu-satunya adalah membangun rumah susun (Yunus, 2005). Disamping itu melalui kegiatan ini diharapkan mampu mondorong penggunaan dan pemanfaatan lahan yang efisien melalui penerapan tata lingkungan permukiman sehingga memudahkan upaya penyediaan prasarana dan sarana lingkungan permukiman yang diperlukan serta dalam rangka mengurangi kesenjangan sosial antar kawasan permukiman di daerah perkotaan.
Pengembangan perumahan dan permukiman diprogramkan sebagai tanggung jawab masyarakat sendiri yang diselenggarakan secara multi sektoral dengan menempatkan peran pemerintah sebagai pendorong, pemberdaya dan fasilitator dalam upaya memampukan masyarakat dan mendorong peran aktif dunia usaha melalui penciptaan iklim yang kondusif dalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman. Dengan latar belakang tersebut, maka misi yang dilaksanakan dalam penanganan lingkungan permukiman kumuh adalah melakukan pemberdayaan masyarakat dan kehidupan yang sehat dan sejahtera, menciptakan, memfasilitasi terciptanya iklim yang kondusif dan membuka akses sumber daya dan informasi serta meningkatkan sarana interaksi sosial untuk mengembangkan norma dan nilai budaya yang sehat dan mengoptimalkan pendayagunaan sumberdaya pendukung penyelenggaraan perumahan dan permukiman (Kan. ar, 1997).
Implementasi dari konsep pemberdayaan masyarakat disini adalah penyelenggaraan pembangunan yang bertumpu kepada masyarakat yaitu suatu proses peningkatan peluang kesempatan mandiri dan bermitra dengan pelaku pembangunan yang lain. Proses pembangunan yang bertumpu kepada masyarakat/ keterlibatan masyarakat (Community Participation) merupakan suatu proses yang spesifik sesuai dengan karakter masyarakatnya, yang meliputi tahapan identifikasi karakter komunitas, identifikasi permasalahan, perencanaan, pemrograman mandiri, serta pembukaan akses kepada sumber daya dan informasi, hal ini penting agar supaya kaidah pembangunan perumahan yang telah ditetapkan dapat diindahkan oleh masyarakat umum dan pola partisipasi masyarakat perlu dikembangkan sesuai dengan budaya yang berlaku di wilayah setempat (Sri.P, 1988).
Pendekatan penyelenggaraan pembangunan yang berorientasi untuk masyarakat perlu diubah menjadi membangun bersama masyarakat. Persoalannya adalah terletak kepada bagaimana menyiapkan dan menciptakan kondisi masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan. Dalam rangka menggali potensi komunitas masyarakat, maka peran pendampingan oleh tenaga pendamping/fasilitator adalah sangat strategis. Pendampingan masyarakat merupakan suatu hubungan setara antara masyarakat dengan individu atau kelompok yang memiliki kemampuan profesional, kepedulian dan menerapkan kaidah kesadaran, keswadayaan, kewajaran didalam proses pendampingan yang dibutuhkan masyarakat dalam memberdayakan pengetahuan mengenai kemasyarakatan, metodologi pendekatan kepada masyarakat dan kemampuan subtantif spesifik yang dibutuhkan dalam sasaran pemberdayaan yang menjadi pilihan masyarakat, misalnya penguasaan terhadap substansi pengembangan usaha ekonomi mikro, serta kemampuan untuk membuka akses terhadap sumberdaya dan informasi. Selanjutnya yang dimaksud dengan kepedulian adalah keberpihakan kepada masyarakat yang didasari oleh kebenaran, penyediaan waktu dan kesiapan diri untuk memahami bahasa komunikasi dan budaya kerja dari masyarakat yang didampingi.


IV.ARAH KEBIJAKAN PENATAAN WILAYAH
Pemerintah harus menjadi motor dalam menentukan kebijakan untuk menangani permukiman kumuh tersebut. Walaupun masyarakat tetap harus dilibatkan dalam setiap kegiatan penanganan permukiman, tetapi keterlibatan masyarakat hanya pada tataran aplikasi di lapangan. Oleh karena itu masyarakat perlu diberikan pelatihan sehingga mampu memberikan konstribusi yang besar dalam proses pelaksanaan di lapangan.
Untuk mendukung proses pemulihan permukiman kumuh tersebut, maka diperlukan akses bantuan kepada masyarakat sehingga kegiatan yang dilaksanakan dapat berjalan dengan baik karena didukung dana yang cukup. Prasarana yang bisa menjadi pendukung agar permukiman kumuh bisa sedikit berbenah dengan adanya fasilitas-fasilitas seperti tempat pembuangan sampah, pasar perumahan dan fasilitas lainnya. Upaya pengerahan aktif dari pemerintah dan pihak yang berkompeten harus selalu dilaksanakan dalam mendampingi upaya penduduk memperbaiki lingkungannya, hal ini harus dilaksanakan secara terus- menerus, terstruktur dan sistematik (Yunus, 2005).
Kesadaran akan kebersihan perlu ditanamkan dengan baik melalui pemberian penyuluhan tentang hukum yang berkaitan dengan perusakan lingkungan sehingga secara tidak langsung akan menjadi Shock Theraphy bagi masyarakat yang berada di permukiman kumuh dan yang berpotensi menjadi permukiman kumuh untuk tidak merusak lingkungan hidup. Pengembangan permukiman juga perlu dikaitkan dengan berbagai kegiatan produktif unuk memberikan kehidupan yang sehat dan sejahtera, tetapi juga menumjang aktifitas ekonomi dan pertumbuhan ekonomi (Kan. ar, 1997)
Secara singkat kebijakan-kebijakan tersebut adalah sebagai berikut :
a.Mewujudkan proses transformasi kapasitas kepada masyarakat melalui pembelajaran dan pelatihan secara langsung di lapangan.
b.Mendorong akses bantuan kepada masyarakat yang tinggal di lingkungan permukiman kumuh.
c.Meningkatkan kemampuan kelembagaan Pemerintah/Pemerintah Daerah dan kelompok masyarakat di bidang perumahan dan permukiman.
d.Meningkatkan kesadaran hukum bagi para aparat Pemerintah
e.Memberdayakan pasar perumahan untuk melayani lebih banyak masyarakat.
f.Meningkatkan pembangunan dan pemeliharaan prasarana dan sarana umum dan ekonomi lingkungan permukiman


V.PENATAAN WILAYAH PERMUKIMAN KUMUH

Kegiatan penataan lingkungan kumuh ini menerapkan konsep dasar Tridaya yang meliputi aspek penyiapan masyarakat melalui pemberdayaan sosial kemasyarakatan, pendayagunaan prasarana dan sarana lingkungan permukiman serta pemberdayaan kegiatan usaha ekonomi lokal/masyarakat.
Dalam penerapannya, kegiatan ini menggunakan pemberdayaan masyarakat sebagai inti gerakannya, dengan menempatkan komunitas permukiman sebagai pelaku utama pada setiap tahapan, langkah, dan proses kegiatan, yang berarti komunitas pemukim adalah pemilik kegiatan. Pelaku pembangunan di luar komunitas pemukim merupakan mitra kerja sekaligus sebagai pelaku pendukung yang berpartisipasi pada kegiatan komunitas pemukim.
Dengan demikian, strategi program ini menitikberatkan pada transformasi kapasitas manajemen dan teknis kepada komunitas melalui pembelajaran langsung (learning by doing) melalui proses fasilitasi berfungsinya manajemen komunitas. Penerapan strategi ini memungkinkan komunitas pemukim untuk mampu membuat rencana yang rasional, membuat keputusan, melaksanakan rencana dan keputusan yang diambil, mengelola dan mempertanggungjawabkan hasil-hasil kegiatannya, serta mampu mengembangkan produk yang telah dihasilkan. Melalui penerapan strategi ini diharapkan terjadi peningkatan secara bertahap kapasitas sumberdaya manusia dan pranata sosial komunitas pemukim, kualitas lingkungan permukiman, dan kapasitas ekonomi/usaha komunitas.
Seluruh rangkaian kegiatan dalam pemberdayaan masyarakat dalam program penataan lingkungan kumuh ini memiliki pola dasar yang secara umum dapat dikelompokan menjadi tiga kelompok besar kegiatan fasilitasi, yaitu pengorganisasian dan peningkatan kapasitas masyarakat, pelaksanaan pembangunan serta pengembangan kelembagaan komunitas
Dalam rangka menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan, masyarakat yang terorganisasi memiliki peluang yang lebih besar dibandingkan secara individual. Selain itu kemampuan masyarakat dalam mengidentifikasi kebutuhan dan potensinya, serta membuat rencana yang rasional juga menjadi persyaratan keberhasilan kegiatan. Oleh karenanya, fasilitasi kepada komunitas dalam pengorganisasian dan peningkatan kapasitas masyarakat ini merupakan bagian dari konsep dasar khususnya dalam aspek penyiapan masyarakat dan aspek pemberdayaan kegiatan usaha ekonomi dalam satu kesatuan.
Dalam mengaktualkan rencananya, komunitas perlu melakukan pengorganisasian peluang dan sumberdaya kunci yang ada. Dalam kaitannya dengan fasilitasi ini, pemerintah memberikan stimulan dana kepada komunitas untuk merealisasikan rencananya terutama dalam penataan lingkungan permukiman kumuh, tanpa menutup kemungkinan adanya bantuan tidak mengikat dari pihak lain. Selanjutnya fasilitasi terhadap komunitas dilakukan untuk pengelolaan hasil pembangunan yang telah dilaksanakannya. Rangkaian fasilitasi ini merupakan bagian dari konsep dasar Tridaya, khususnya dalam aspek pendayagunaan prasarana dan sarana lingkungan dan aspek penyiapan masyarakat dalam satu kesatuan.
Pengembangan lembaga komunitas merupakan fasilitasi tahap akhir. Dalam rangkaiankegiatannya, fasilitasi ini mengarah kepada pembuatan aturan main lembaga komunitas, formalisasi lembaga komunitas, pelatihan dalam rangka peningkatan kapasitas manajemen dan teknis kepada komunitas maupun lembaga.
komunitas, pembentukan jaringan kerja dengan komunitas lain, pemanfaatan akses sumber daya kunci pembangunan dalam rangka kemitraan, dan pembukaan akses terhadap pengabil kebijakan. Rangkaian fasilitas ini merupakan bentuk utuh dari penerapan konsep dasar Tridaya.
Secara Ringkas Penataan Wilayah untuk Pengananan Masalah Permukiman Kumuh tersebut adalah :
a.Menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dalam penataan lingkungan permukiman kumuh .
b.Mendorong usaha produktif masyarakat melalui perkuatan jaringan kerja dengan mitra swasta dan dunia usaha.
c.Mencari pemecahan terbaik dalam penentuan kelayakan penataan lingkungan permukiman kumuh .
d.Melaksanakan penegakkan dan perlindungan hukum kepada masyarakat yang tinggal di lingkungan permukiman kumuh .
e.Melakukan pemberdayaan kepada para pelaku untuk mencegah terjadinya permasalahan sosial.
f.Menerapkan budaya bersih dan tertib di lingkungan perumahan dan permukiman .
Akhirnya, apabila upaya penataan permukiman kumuh dapat dilaksanakan maka hasil yang dapat diharapkan adalah meningkatnya pendapatan masyarakat, memperluas lapangan pekerjaan baru, meningkakan kualitas rumah tinggal bahkan dapat memudahkan perolehan jasa-jasa dari penduduk yang tersedia, meningkatkan kesehatan lingkungan, hal ini dapat berakibat meningkatnya hasrat penduduk untuk berpartisipasi dalam pembangunan dan bahkan dapat meningkatkan nilai tanah yang ada.

VI. KESIMPULAN
Kesadaran masyarakat bermukim yang sehat, tertib dan teratur pada umumnya masih rendah, maka dalam upaya meningkatkan kesadaran perlu terus diupayakan penggalangan potensi masyarakat melalui proses pemberdayaan.Upayamelembagakan penataan lingkungan permukiman kumuh dengan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama perlu terus ditumbuh kembangkan dengan mewujudkan perumahan yang layak dan terjangkau pada lingkungan permukiman yang berkelanjutan, responsif yang mendukung pengembangan jatidiri, produktivitas dan kemandirian masyarakat.Untuk mendukung pencapaian lingkungan permukiman yang responsif tersebut maka perlu langkah konkrit untuk mendayagunakan potensi masyarakat melalui kegiatan peningkatan kualitas permukiman, penerapan tata lingkungan permukiman, pengembangan perumahan yang bertumpu kepada swadaya masyarakat, pembukaan akses kepada sumber daya perumahan dan permukiman serta upaya-upaya pemberdayaan ekonomi khususnya bagi golongan masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah.
Upaya pendukung yang cukup strategis adalah pemantapan kelembagaan yang mendorong terbentuknya lembaga perumahan dan permukiman yang handal dan profesional baik di lingkungan pemerintahan (Pusat, Propinsi, Kab/Kota), Badan Usaha (BUMN, BUMD dan Swasta), dan Masyarakat; serta melembaganya penyusunan RP4D (Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman di Daerah) sebagai bagian dari perencanaan pembangunan daerah, dimana didalamnya termasuk kegiatan penataan lingkungan permukiman kumuh secara berkelanjutan.
Penataan wilayah permukiman kumuh perlu dikaitkan secara struktural dan fungsional dengan potensi sumber daya yang ada di kota tersebut termasuk di lingkungan permukiman kumuh itu sendiri yang implementasinya dilakukan bersama masyarakat untuk mencapai kondisi yang lebih baik. Penataan lingkungan permukiman kumuh sangat strategis untuk dikembangkan sesuai potensi dan sumberdaya yang sudah dimilikinya. Pendekatan pemberdayaan masyarakat harus berorientasi kepada tercapainya kemandirian masyarakat yang bertahap dan berkelanjutan.
Penanganan masalah lingkungan permukiman kumuh tidak dapat dilakukan secara sepihak atau parsial, melainkan harus merupakan upaya terpadu yang saling mendukung dan saling bersinergi dalam mencapai sasaran manfaat yang optimal. Perlu ada kesamaan persepsi dalam penetapan sasaran, langkah dan waktu yang tepat untuk mengimplementasinya, dalam hal ini pemerintah perlu berperan sebagai fasilitator dan pemberdaya dari semua tindakan yang akan diambil. Masa depan sangat tergantung dari keberhasilan mencapai kehidupan masyarakat yang berimbang, kemajemukan masyarakat harus dilihat sebagai kekuatan untuk menghadapi masa depan kota yang penuh persaingan dan permasalahan yang kompleks, sehingga diperlukan perintisan pembentukan jaringan kemitraan yang saling mendukung.
Implementasi dari produk-produk pengaturan dalam penataan lingkungan permukiman kumuh yang ada pada saat ini masih belum memberikan hasil yang optimal. Sehubungan dengan hal tersebut maka selaras dengan era Otonomi Daerah dimana masalah perumahan dan permukiman telah menjadi tugas dan tanggung jawab Pemerintah Kota Yogyakarta, maka upaya penanganan lingkungan permukiman kumuh perlu terus dikembangkan konsep penangananya sesuai dengan kondisi permasalahan dan potensi lokal yang ada, yang implementasinya dilaksanakan secara multi sektoral, bertahap dan berkelanjutan.



DAFTAR PUSTAKA

Esmara, Hendra. 1975. Kesenjangan Pendapatan Daerah, Padang: Universitas Andalas
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan United Nations Devolopment Programme, 1997. Ringkasan Agenda 21 Indonesia, Strategi Nasional Untuk Pembangunan Berkelanjutan.
Koestoer. RH, 1997. Perspektif Lingkungan Desa-Kota Teori dan Kasus, UI-Press.
Sri. P, 1988. Permukiman Kumuh; Pertimbangan Pengusiran Atau Perbaikan. Jakarta. : Kongres Ikatan Peminat Dan Ahli Demografi Indonesia IV
Yunus, H.S. 2005. Manajemen Kota: Perspektif Spasial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

REGION

T.J Wofter :
” A region is an area within the combination of environmental and demographic factors have created homogeinety of economic and social structure”.

Suatu wilayah adalah suatu daerah tertentu yang di dalamnya tercipta homogenitas struktur ekonomi dan sosial sebagai perwujudan kombinasi antara faktor-faktor lingkungan dan demografis.

R.S. Platt :
” A region is an area deliniated on a basis of general homogeniety of land character and of occupance”.

Suatu wilayah adalah daerah tertentu yang keberadaannya dikenal berdasarkan homogenitas umum baik berdasarkan karakter lahan maupun huniannya.

American Society of Planning Officials :
”A region is an area where in there has grown up one characteristic human pattern of adjustment to environment”.

Suatu wilayah adalah daerah tertentu yang pada wilayah yang bersangkutan telah tumbuh karakteristik yang menyangkut pola penyesuaian gejala kemanusiaan terhadap lingkungannya.

P. Vidal de la Blache :
”A region is a domain where many dissimilar beings artificially brought together, have subsequently adapted themselves to a common existence.”

Suatu wilayah adalah tempat (domain) tertentu yang di dalamnya terdapat banyak sekali hal yang berbeda-beda, namun secara artifisial tergabung bersama-sama, saling menyesuaikan untuk membentuk kebersamaan.

R. E Dickinson :
” A region is an area througout which a particular set of physical conditions will lead to a particular type of economic life”.

Suatu wilayah adalah daerah tertentu yang terdapat sekelompok kondisi-kondisi fisik yang telah memungkinkan terciptanya tipe kehidupan ekonomi tertentu.

W.I.G Jeerg :
” A region is an area whose physical conditions are homogenous”

Suatu wilayah adalah daerah tertentu yang mempunyai kondisi-kondisi fisik seragam.

M. M. Fenneman :
”A region is an area characterized throughout by similiar surface features and which is contrasted with neighbouring areas”.

Wilayah adalah daerah tertentu yang bentang lahannnya sejenis dan dapat dibedakan dengan daerah tetangganya.

A. J. Herbertson :
”A region is complex land, water, air, plant, animal and man regarded in their special relations as together constituting a definite characteristic portion of the earth’s surfaces”.

Suatu wilayah adalah bagian tertentu dari permukaan bumi yang mempunyai sifat khas tertentu sebagai akibat dari adanya hubungan-hubungan khusus antara kompleks lahan, air, udara, tanaman, binatang dan manusia sendiri.

K. Young :

”A region is a geographic area unified culturally, unified at first economically and later by consensus of thought, education, recreation, etc, which distinguishes it from other areas”

Suatu wilayah adalah daerah geografis yang membentuk suatu kesatuan budaya; mula-mula seragam secara ekonomis dan kemudian juga dalam pemikiran-pemikiran, pendidikan, rekreasi dan lain-lain serta dapat dibedakan dengan daerah-daerah lain.

E.G.R. Taylor :
”A region may be definied as a unit area of the earth’s surface distinguishable from a more area by the exhibition of some unifying characteristic or property”.

Suatu wilayah dapat didefinisikan sebagai suatu daerah tertentu di permukaan bumi yang dapat dibedakan dengan daerah tetangganya atas dasar kenampakan karakteristik atau properti yang menyatu.


Dari bermacam-macam batasan tentang wilayah tersebut di atas, kecuali ada perbedaan-perbedaan dalam beberapa hal, ternyata terdapat unsur-unsur kesamaan. Dan apabila batasan itu dapat digolongkan dalam tiga dasar penggolongan :
Kelompok pertama mendasarkan definisinya pada gejala-gejala kemanusiaan (human phenomena).
Kelompok kedua mendasarkan pada gejala-gejala alamiah (natural phenomena).
Kelompok ketiga mendasarkan batasan pada gejala-gejala geografi (geographycal phenomena) yang mengaitkan faktor alamiah dan manusiawi dalam jalinan yang harmonis.

Tiga karakteristik penting dalam tata kelola yang baik (good governance)

A. Transparansi
Transparansi berarti terbukanya akses bagi semua pihak yang berkepentingan terhadap setiap informasi terkait seperti berbagai peraturan dan perundang-undangan, serta kebijakan pemerintah dengan biaya yang minimal. Informasi sosial, ekonomi, dan politik yang andal (reliable) dan berkala haruslah tersedia dan dapat diakses oleh publik (biasanya melalui filter media massa yang bertanggung jawab). Artinya, transparansi dibangun atas pijakan kebebasan arus informasi yang memadai disediakan untuk dipahami dan (untuk kemudian) dapat dipantau.
Transparansi jelas mengurangi tingkat ketidakpastian dalam proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan publik. Sebab, penyebarluasan berbagai informasi yang selama ini aksesnya hanya dimiliki pemerintah dapat memberikan kesempatan kepada berbagai komponen masyarakat untuk turut mengambil keputusan. Oleh karenanya, perlu dicatat bahwa informasi ini bukan sekedar tersedia, tapi juga relevan dan bisa dipahami publik. Selain itu, transparansi ini dapat membantu untuk mempersempit peluang korupsi di kalangan para pejabat publik dengan “terlihatnya” segala proses pengambilan keputusan oleh masyarakat luas.

B. Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah kapasitas suatu instansi pemerintahan untuk bertanggung gugat atas keberhasilan maupun kegagalannya dalam melaksanakan misinya dalam mencapai tujuan dan sasaran yang ditetapkan secara periodik. Artinya, setiap instansi pemerintah mempunyai kewajiban untuk mempertanggungjawabkan pencapaian organisasinya dalam pengelolaan sumberdaya yang dipercayakan kepadanya, mulai dari tahap perencanaan, implementasi, sampai pada pemantauan dan evaluasi.
Akuntabilitas merupakan kunci untuk memastikan bahwa kekuasaan itu dijalankan dengan baik dan sesuai dengan kepentingan publik. Untuk itu, akuntabilitas mensyaratkan kejelasan tentang siapa yang bertanggunggugat, kepada siapa, dan apa yang dipertanggunggugatkan. Karenanya, akuntabilitas bisa berarti pula penetapan sejumlah kriteria dan indikator untuk mengukur kinerja instansi pemerintah, serta mekanisme yang dapat mengontrol dan memastikan tercapainya berbagai standar tersebut.
Berbeda dengan akuntabilitas dalam sektor swasta yang bersifat dual-accountability structure (kepada pemegang saham dan konsumen), akuntabilitas pada sektor publik bersifat multiple-accountability structure. Ia dimintai pertanggungjawaban oleh lebih banyak pihak yang mewakili pluralisme masyarakat. Rincinya, kinerja suatu instansi pemerintah harus dapat dipertanggungjawabkan terhadap atasan, anggota DPRD, organisasi nonpemerintah, lembaga donor, dan komponen masyarakat lainnya. Semua itu berarti pula, akuntabilitas internal (administratif) dan eksternal ini menjadi sama pentingnya.
Akhirnya, akuntabilitas menuntut adanya kepastian hukum yang merupakan resultan dari hukum dan perundangan-undangan yang jelas, tegas, diketahui publik di satu pihak, serta upaya penegakan hukum yang efektif , konsisten, dan tanpa pandang bulu di pihak lain. Kepastian hukum juga merupakan indikator penting dalam menimbang tingkat kewibawaan suatu pemerintahan, legitimasinya di hadapan rakyatnya, dan dunia internasional.

C. Partisipasi
Partisipasi merupakan perwujudan dari berubahnya paradigma mengenai peran masyarakat dalam pembangunan. Masyarakat bukanlah sekedar penerima manfaat (beneficiaries) atau objek belaka, melainkan agen pembangunan (subjek) yang mempunyai porsi yang penting. Dengan prinsip “dari dan untuk rakyat”, mereka harus memiliki akses pada pelbagai institusi yang mempromosikan pembangunan.
Karenanya, kualitas hubungan antara pemerintah dengan warga yang dilayani dan dilindunginya menjadi penting di sini. Hubungan yang pertama mewujud lewat proses suatu pemerintahan dipilih. Pemilihan anggota legislatif dan pimpinan eksekutif yang bebas dan jujur merupakan kondisi inisial yang dibutuhkan untuk memastikan bahwa hubungan antara pemerintah yang diberi mandat untuk menjadi “dirigen” tata pemerintahan ini dengan masyarakat (yang diwakili legislatif) dapat berlangsung dengan baik.
Pola hubungan yang kedua adalah keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Kehadiran tiga domain pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil dalam proses ini amat penting untuk memastikan bahwa proses “pembangunan” tersebut dapat memberikan manfaat yang terbesar atau “kebebasan” (mengutip Amartya Zen) bagi masyarakatnya. Pemerintah menciptakan lingkungan politik, ekonomi, dan hukum yang kondusif.
Sektor swasta menciptakan kesempatan kerja yang implikasinya meningkatkan peluanguntuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Akan halnya masyarakat sipil (lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat, organisasi keagamaan, koperasi, serikat pekerja, dan sebagainya) memfasilitasi interaksi sosial-politik untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas ekonomi, sosial, dan politik.
Sementara itu, di tingkat praktis, partisipasi dibutuhkan untuk mendapatkan informasi yang andal dari sumber pertama, serta untuk mengimplementasikan pemantauan atas atas implementasi kebijakan pemerintah, yang akan meningkatkan “rasa memiliki” dan kualitas implementasi kebijakan tersebut. Di tingkatan yang berbeda, efektivitas suatu kebijakan dalam pembangunan mensyaratkan adanya dukungan yang luas dan kerja sama dari semua pelaku (stakeholders) yang terlibat dan memiliki kepentingan.
Secara konseptual, hubungan antara ketiga komponen tata pemerintahan yang baik itu mutualistik dan saling mendukung. Efektivitas dan efisiensi sumber daya dalam mencapai tujuannya mensejahterakan bangsa menuntut tingkat akuntabilitas penyelenggara negara (pemerintah) yang relatif tinggi. Tanpa adanya partisipasi publik untuk mengamankan (safeguard) proses penyelenggaraan negara, sulit diharapkan akuntabilitas dan penegakan hukum dapat berjalan dengan baik.
Di lain pihak, partisipasi publik tidak mungkin dapat berjalan dengan efektif tanpa adanya hak publik untuk mengakses informasi yang dimilik oleh pemerintah. Sebaliknya, transparansi sendiri tidak mungkin tercipta jika pemerintah tidak bertanggung gugat dan tidak ada jaminan hukum atas hak publik untuk mengakses berbagai informasi tersebut. Jadi, ketiganya saling mengkait dan sulit untuk dapat berjalan sendiri tanpa adanya dukungan dari komponen lainnya.
Satu hal penting lainnya untuk negara yang secara geografis luas dengan jumlah penduduk yang besar seperti Indonesia dibutuhkan adanya otonomi yang demokratis di tingkat pemerintah daerah yang memastikan bahwa interaksi antara pemerintah dan masyarakat ini dapat terjadi secara langsung dan intensif di lingkup yang kecil.
2.Keadaan di Indonesia sebelum dan sesudah otonomi daerah
Dengan pemberian otonomi kepada daerah, maka azas penyelenggaraan pemerintah daerah akan selalu menampilkan dua pertimbangan utama, yakni pertimbangan yang berkenaan upaya menjamin kesinambungan dan keberhasilan pembangunan nasional dan pertimbangan untuk mewadahi aspirasi masyarakat di daerah, agar mereka dapat lebih diberdayakan terutama untuk menunjang pembangunan daerah. Masyarakat didaerah akan lebih mendiri dan tidak tergantung kepada bantuan pemerintah. Paradigma pemberdayaan masyarakat (soceity empowerment) bertumpu pada suatu pemikiran; pembangunan akan berjalan dengan sendirinya apabila masyarakat diberi hak untuk mengelola sumber daya alam yang mereka miliki dengan kemampuan sendiri dan menggunakannya untuk pembangunan masyarakatnya.
2.1 Transparansi :
Tranparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau.
Sebelum Otonomi Daerah :
Konsep transparansi pemerintah masih kabur. Hal-hal yang menjadi latar belakang masalah dan menjadi rahasia negara yang membahayakan keselamatan umum tidak boleh diketahui publik. Pemerintah pusat masih cenderung tertutup dan tidak transparan tentang pengelolaan kegiatan pembangunannya termasuk anggaran yang dipakai untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Begitu pula di daerah, masih belum terciptanya transparansi kepada masyarakat luas. Alokasi APBD masyarakat hanya tahu pada bagian hilirnya saja, sedang proses dari penyusunan APBD dilakukan tertutup.
Sesudah Otonomi Daerah
Masyarakat berupaya untuk berada pada peristiwa-peristiwa penting dalam penggodokan keputusan-keputusan menyangkut publik. Misalnya penyusunan APBD, masyarakat harus mengupayakan agar dapat ikut mengawasi dalam semua tingkat pembahasan di eksekutif maupun legislatif. Transparansi dapat membantu untuk mempersempit peluang korupsi di kalangan para pejabat publik khususnya pejabat daerah dengan “terlihatnya” segala proses pengambilan keputusan oleh masyarakat luas.
2.2 Akuntabilitas
Para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta dan organisasi-organisasi masyarakat bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan. Bentuk pertanggung jawaban tersebut berbeda satu dengan lainnya tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan.

Sebelum Otonomi Daerah

Banyak kasus pembuatan kebijakan-kebijakan yang tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana. Dan ada juga kasus apabila suatu kebijakan telah dilaksanakan sesuai dengan rencana namun mengingat kondisi ekternal ternyata tidak menguntungkan akhirnya tidak berkesinambungan. Hal ini disebabkan pelaksanaannya jelek (bad excecution), kebijakannya sendiri mememang jelek (bad policy), dan kebijakan itu bernasib jelek (bad luck). Hal ini biasa terjadi mengingat program-program pemerintah tersentral (terpusat) dari atas saja tanpa melibatkan peranan pemerintah (terlibat tapi pengaruhnya kecil) dan masyarakat yang lebih tahu karakteristik sasaran dari kebijakan pemerintah tersebut.
Selain itu, akuntabilitas anggaran masih lemah dan jarang dikritisi (yang tahu lengkap/detail hanya pusat). Selama itu pula akuntabilitas anggaran senantiasa diterjemahkan dalam bentuk bisa diaudit, dilaporkan ke legislatif dalam bentuk laporan tahunan. Banyak lembaga swasta bahkan pers yang menggunakan anggaran negara tanpa mnegetahui rinciannya lebih detail.
Sesudah Otonomi Daerah
Instansi pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk mempertanggungjawabkan pencapaian organisasinya dalam pengelolaan sumberdaya yang dipercayakan kepadanya, mulai dari tahap perencanaan, implementasi, sampai pada pemantauan dan evaluasi. Tiap pelaksanaan penggunaan uang negara harus jelas pertanggungjawabannya dan harus diketahui masyarakatnya. Biaya perjalanan dinas yang irrasional diminimalisir dan akuntabilitas anggarannya dipertanggungjawabkan kepada DPRD. Masyarakat ikut mengawasi penggunaan anggaran pemerintah.
2.3 Partisipasi
Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif.
Sebelum Otonomi Daerah
Semua kebijakan publik serba bersumber dari atas (sentralistik). Pemerintah daerah hanya sebagai pelaksana dan partisipasi masyarakat hanya sebatas ungkapan-ungkapan untuk menjalankan program-program pembangunan tersebut. Masyarakat sendiri tidak pernah menjadi agen pembangunan (development agent), karena yang paling sering disebut sebut agen-agen pembangunan misalnya adalah BUMN, Koperasi serta lembaga bentukan pemerintah lainnya.
Sesudah Otonomi Daerah
Konsep partisipasi masyarakat semakin mencuat. Masyarakat bukanlah sekedar penerima manfaat (beneficiaries) atau objek belaka, melainkan agen pembangunan (subjek) yang mempunyai porsi yang penting. Terutama untuk kebijakan pemerintah/DPRD yang menyangkut publik harus ada imbangannya dari ranah publik. Rakyat harus ikut menimpali statmen pemerintah. Harus ditunjukkan adanya partisipasi riil rakyat dalam penetapan sebuah kebijakan publik.
Terdapat beberapa perubahan-perubahan penting yang dapat diamati dan dirasakan penulis setelah pelaksanaan otonomi daerah:

1.Perubahan paradigma dalam penerapan transparansi.
Data/informasi kegiatan pengelolaan pembangunan tiap daerah termasuk perumusan kebijakan dan pelaksanaan kerja organisasi dapat diakses mudah oleh publik. Transparansi telah menumbuhkan kepercayaan timbal balik antara pemerintah, masyarakat dan stakeholders lainnya.
2.Perubahan paradigma dalam penerapan akuntabilitas.
1.Rencana pembangunan harus mengandung visi dan misi yang jelas dan tepat sasaran lagi karena dikelola oleh pemerintah daerah yang mengetahui karakteristik daerah yang bersangkutan.
2.Kelembagaan yang dilakukan pemerintah daerah dinilai lebih optimal dibandingkan harus tersentral ke pusat. Banyak campur tangan pusat yang dirasa tidak perlu yang akan mengganggu struktur kelembagaan daerah yang ada.
3.Adanya pemanfaatan sumberdaya manusia melalui konsep putra daerah. Pemanfaatan putra daerah sebagai potensi dalam mendukung pembangunan merupakan nilai lebih dari munculnya pembaharuan dalam hal akuntabilitas di masa setelah otonomi daerah.
4.Pelaksanaan kegiatan yang lebih efektif dan efisien. Dikarenakan pembagian wewenang dalam mengorganisir kegiatan pembangunan di daerahnya masing-masing. Jadi pembagian wewenang dan tanggung jawab ini akan menjadi motivasi bagi tiap daerah untuk mengoptimalkan kegiatan yang ada agar memperoleh hasil yang maksimal.
3.Perubahan paradigma dalam penerapan partisipasi.
Adanya penyadaran akan pentingnya pelibatan masyarakat luas secara langsung dalam upaya meningkatkan partisipasi dan fungsi pengawasan secara independen dan transparan. Dalam hal ini press lokal, partai politik, kelompok kepentingan dan organisasi kemasyarakatan semuanya akan memainkan peranan penting dalam proses pengembangan pemerintah daerah yang demokratis. Fungsi pemerintah daerah adalah sebagai pelayan dan fasilitator aktivitas masyarakat, karena itu berbagai kegiatan dan kebijakan di era otonomi daerah makin banyak diserahkan atau melibatkan masyarakat.

dari berbagai sumber

Pengembangan Transportasi

ENAM STRATEGI
UNTUK PENGEMBANGAN TRANSPORTASI
KOTA BESAR

Ralph Gakenheimer
Professor of Urban Planning and Civil Engineering
Massachusetts Institute of Technology, Cambridge


diterjemah dan disarikan oleh : Iwan Mulyawan, M.Sc


Tujuan Dasar:
1. Nilai kota memiliki porsi yang besar dalam produktivitas ekonomi nasional, dan potensial untuk lebih dari itu, perencanaan sebaiknya menekankan pada produktivitas ekonomi perkotaan dan mengurangi batasan-batasan dalam produktivitas.
2. Peningkatan kemiskinan kota melemahkan produktivitas dan kesejahteraan rakyat miskin, sebaiknya kondisi mereka ditingkatkan dengan peningkatan permintaan tenaga kerja dan meningkatkan akses infrastruktur dan fasilitas sosial.
3. Memburuknya lingkungan perkotaan mengancam kehidupan dan produktivitas kota, maka kebijakan sebaiknya dialamatkan untuk membalikkan tren ini, meningkatkan lingkungan perkotaan.

Tujuan Strategis Umum
1.Pedoman pembangunan fisik
Sebaiknya kita tidak mendukung pertumbuhan megapolitan terutama jika terdapat kota besar lain dalam suatu negara, karena mungkin dapat saja mereka mengakomodasi aktivitas ekonomi baru pada tingkatan produktivitas yang sama dengan sedikit urbanisasi. Kita juga tidak perlu mencoba menekan atau mengakhiri pertumbuhan sejak penekanan pertumbuhan kota tidak pernah berhasil. Pertumbuhan akan tetap berlanjut dan terdapat beberapa alasan untuk menyusun pedoman, yaitu:
a)Mendesentralisasikan pembangunan, meminimalkan masalah dari banyaknya konsentrasi. Banyak perusahaan di pusat kota karena kebutuhan pelayanan bisnis dan aktivitas ekonomi yang mungkin dapat dipusatkan semuanya. Tujuannya adalah untuk memusatkan dan mempertahankan efektivitas pengelompokan ekonomi.
b)Meningkatkan konsentrasi area pembangunan, menghindari konsumsi yang tidak berkelanjutan dari area lahan pertanian.
c)Menyediakan lahan untuk perumahan dalam jangkauan tempat kerja, khusunya untuk penduduk miskin. Salah satu kerugian pemaksaan kota besar pada penduduk miskin adalah untuk memaksa mereka tinggal jauh dari tempat kerja, dimana terjadi peningkatan pengangguran dan akan membahayakan kesehatan. Meski penduduk miskin dirugikan oleh sistem tersebut, namun masalah perjalanan untuk bekerja masih memprihatinkan banyak pihak.
Jadi, ketiga tujuan dasar – produktivitas, pengurangan kemiskinan, dan ketahanan lingkungan – penting diberikan dengan memperoleh pengaruh pada lokasi pertumbuhan perkotaan.

2.Meningkatkan hubungan produktif antar aktivitas ekonomi
Hubungan produktif biasanya membutuhkan pengiriman atau bentuk lain untuk mencapai pengelompokkan ekonomi. Terkait keuntungan industri, pemerintah harus membantu dengan menyediakan infrastruktur, memberikan pajak liburan, dan membuat pinjaman khusus dan ketersediaan bisnis. Hubungan ini dapat ditingkatkan melalui muatan bandara, terminal muatan, model perubahan fasilitas barang dan penumpang, dan pembuangan limbah padat.

3.Meningkatkan program dan biaya infrastruktur
Rintangan terbesar dari produktivitas perkotaan adalah kelemahan sektor publik, karena berbagai layanan tidak mencukupi. Kurangnya infrastruktur akan menghambat pembangunan ekonomi. Layanan kota menarik kepadatan aktivitas yang berlebihan. Lingkungan rusak oleh kurangnya pembuangan air dan masuknya air limbah kedalam permukaan air bawah tanah. Transportasi hanya salah satu kasus, tapi merupakan yang paling serius.

4.Menyusun pemerintahan
Kota besar menimbulkan masalah terbesar karena menarik atensi agen pemerintahan di semua tingkatan dan bentuk fisik berarti ada lebih banyak keterlibatan pemerintah daerah. Kebutuhannya adalah untuk menciptakan satu suara dalam manajemen pembangunan baik nasional maupun daerah. Jika tidak hanya akan ada sedikit inisiatif dan dapat saja gagal untuk mencapai efisiensi aktivitas distribusi dan pelayanan. Transportasi adalah salah satu sektor yang paling parah karena minimnya institusi metropolitan.

Keputusan strategis untuk transportasi
1.Bagaimana menetapkan tarif ongkos dan membiayai transportasi perkotaan
Angkutan, seperti layanan umum yang lain, kurang dihargai di banyak kota, baik sebagai masalah dari kelayakan politik atau karena kepercayaan bahwa penglaju tidak dapat memberikan harga yang yang lebih tinggi. Saran pertama adalah meningkatkan ongkos (pembayaran) pelayanan. Secara umum, sebaiknya kota tidak mengoperasikan pelayanan yang tidak dapat membiayai sendiri. Pertanyaan selanjutnya, lalu bagaimana menetapkan biaya untuk para ahli waris (anak-cucu) kita. Terdapat sedikit teladan untuk memberi subsidi suatu bentuk transportasi umum sejak hal ini terlihat serius. Privatisasi mungkin dapat dijadikan alternatif, karena di berbagai belahan dunia terdapat ratusan kota dengan transpor bus yang diprivatisasi. Layanan angkutan yang disediakan oleh agensi publik cenderung menjadi tidak efisien, untuk mengurangi kualitas, dan untuk menyerap peningkatan subsidi pemerintah.
Ratusan kota memiliki transpor sektor informal yang menggunakan berbagai kendaraan bermotor maupun tidak bermotor dibawah pengendali kontrol minimal yang masih bertahan. Keputusan penting dalam privatisasi, apakah sistem itu merupakan kesatuan perusahaan pelayanan dibawah sebuah perjanjian pelayanan publik.
Kepemilikan angkutan merupakan sebuah isu yang sulit untuk membedakan tekanan di setiap kota. Penting untuk menganggap bahwa privatisasi merupakan sebuah ide yang secara finansial dapat berjalan tapi yang terpenting adalah modal intensif teknologi. Sebaiknya kita ingat bahwa model yang kurang menghargai transportasi perkotaan adalah mobil. Hasilnya adalah bahwa di negara yang berdekatan, pekerjaan yang masih tertunda adalah pembangunan dan perbaikan jalan. Ada kemungkinan baru dengan kemunculan jalan tol di beberapa negara. Namun kemacetan yang ada, seiring bertambahnya biaya tol harus diimbangi dengan peningkatan fasilitas sehingga sesuai dengan harga yang dibayarkan oleh para pengguna tol.
Kesimpulannya, para penglaju harus mendapatkan angkutan yang bersubsidi tetapi dihadapkan kepada masih kurangnya pelayanan dan berbagai masalah kemacetan di kota besar. Mereka akan berusaha membayar lebih agar memperoleh pelayanan yang lebih baik.

2.Bagaimana memilih model angkutan umum
Bagi para penglaju di megapolitan, bus merupakan model dasar transportasi. Tapi kota besar membuat akses pengguna kapasitas maksimal bus (sekitar 30.000 penumpang/jam sekali jalan) terlampaui. Busway diharapkan mampu mengatasi masalah itu. Kapasitas yang lebih besar (dapat sampai 39.000/ jam/sekali jalan) dan memiliki beberapa keuntungan dibanding metro. Busway dapat dibangun dimana angkutan melewati jalur kemacetan lalu lintas, dapat memuat lebih banyak penumpang dan jalannya dapat dibangun secara bertahap. Kota dapat membangun rute busway dengan dana yang digunakan untuk alokasi satu metro. Kelemahan busway adalah: lebih banyak membutuhkan tenaga untuk operasional bus, pengendali macet, dan jalan raya.
Saat menentukan angkutan umum mana yang lebih tepat di perkotaan, tak lupa kita masukkan angkutan yang paling sederhana, yaitu sepeda. Masalahnya, di jalanan kota sepeda dapat membahayakan karena ukurannya yang lebih kecil daripada kendaraan lain. Ada indikasi yang baik bahwa kota yang ingin mempromosikan penggunaan sepeda melalui program pendidikan, dikombinasikan dengan model sepeda dan ketetapan hukum jalur sepeda dapat memberi dorongan untuk menggunakan sepeda. Saran ini tidak memakan banyak biaya serta memiliki keuntungan karena dapat mengurangi kemacetan dan polusi udara.

3.Bagaimana mengendalikan penggunaan mobil
Mobil adalah model transportasi yang menunjukkan kemakmuran, pengguna yang tinggal di kawasan sedikit penduduk, dan komunitas pemakan lahan dengan sedikit modal umum untuk menyediakan fasilitas perjalanan. Mobil menyebabkan kemacetan dan polusi udara. Cara untuk mengendalikan penggunaan mobil di perkotaan:
•Larangan mengemudi reguler
•Penyelenggaraan parkir
•Pengurangan lahan parkir
•Jalur pejalan kaki di jalan-jalan utama
•Rancangan perijinan khusus yang membutuhkan pembayaran saat dimasuki dengan mobil

4.Bagaimana meningkatkan mobilitas penduduk miskin
Tantangan terbesar bagi kota besar adalah bagaimana mengakomodasi mobilitas penduduk miskin yang bekerja di kota. Mayoritas kota besar bahkan mengalami masalah pengangguran. Inti masalah adalah aksesibilitas, bagaimana rute saat mecari kerja dan bagaimana cara mencapai lokasi kerja setiap hari.
Solusi:
•Memperbaiki jalan lokal
•Menyediakan layanan angkutan yang memadai
Beberapa saran untuk mengatasi permasalahan mobilitas bagi orang miskin, diantaranya:
•Menganalisa struktur kota
•Berunding dengan para penglaju

5.Bagaimana melindungi lingkungan melalui kebijakan transportasi
Dua dampak utama penggunaan transportasi terhadap lingkungan adalah polusi udara dan konsumsi lahan. Polusi udara merupakan masalah yang menjadi perhatian utama di banyak kota besar.
Solusi untuk mengurangi polusi udara:
•Membatasi penggunaan mobil pribadi di daerah padat penduduk
Intervensi pemerintah daerah dapat dilakukan dengan menetapkan aturan pembatasan penggunaan mobil pribadi, khususnya di pusat kota yang terkontaminasi.
•Peningkatan teknologi untuk mengurangi emisi bahan bakar
Solusi untuk mengurangi konsumsi lahan akibat urbanisasi:
•Transportasi turut berperan untuk mendukung sebuah aturan yang proaktif.
•Pengendali selanjutnya adalah peningkatan infrastruktur, khususnya air dan penyaluran kotoran yang berkaitan langsung dengan pengendalian pembuatan bangunan secara berlebihan yang menjamin bahwa pembangunan lahan memuat batasan kota yang kuat, membatasi perluasan ke luar saat kota berkembang.

6.Bagaimana menciptakan institusi transportasi sempurna yang memastikan pelayanan baik dan implementasi keputusan
Keputusan penting dibuat di tingkat nasional, dimana pembiayaan datang. Tapi inisiatif pemerintah pusat saja tidak dapat diharapkan berjalan sukses jika diterapkan pada konteks daerah. Pelayanan dan keputusan tentang lokasi tertentu seringkali dibuat di pemerintahan kota (daerah). Tapi lingkup masalah dan solusinya adalah metropolitan dan megapolitan, bukan nasional atau daerah. Institusi transportasi dibutuhkan sehingga menjadi metropolitan dan menyeluruh.
Konteks metropolitan digunakan karena batas pemerintah daerah di suatu area dapat berubah-ubah. Tapi kenyataannya tidak semudah yang dibayangkan. Kewenangan metropolitan itu sendiri tidak efektif karena hanya pemerintah pusat saja yang dapat mengontrak dan menjamin pinjaman dana yang besar. Dalam banyak hal hanya pemerintah pusat yang dapat mengatur biaya angkutan. Dibutuhkan kekuasaan metropolitan yang kuat dan didukung oleh pemerintah pusat. Negara harus mengeluarkan sedikit kekuasaan bagi daerah metropolitan untuk menjamin cukupnya keuangan.
Sangat penting bahwa kekuasaan itu bersifat menyeluruh, hubungannya dengan perencanaan semua model, lahan, dan lingkungan. Kewenangan yang komprehensif memang sulit untuk dicapai tapi penting untuk membuat strategi perencanaan transportasi.

Apakah terdapat masalah dan solusi khusus untuk kota-kota besar?
Setiap masalah transportasi yang ada di kota dengan penduduk lebih dari 10 juta orang juga dialami oleh kota yang lebih kecil. Beberapa solusi teknologi membutuhkan urbanisasi dalam skala besar tapi semuanya diperkirakan hanya untuk penduduk kurang dari 10 juta. Metro dibutuhkan oleh 40.000 penumpang/ jam/sekali jalan di kota yang lebih kecil. Variabel kunci adalah tingkat pendapatan pribadi. Penerapan metro yang berhasil di dunia ini terdapat bukan di kota besar.
Faktanya, terdapat peraturan yang lebih penting daripada jika kota besar bekerja sama hanya untuk mengatasi masalah mereka. Kota besar memiliki kapabilitas untuk berhubungan dengan masalah yang dibagi dengan kota yang lebih kecil. Kota besar dapat menjadi daerah percobaan untuk mengatasi masalah dan diadopsi oleh kota lain.
Kota besar memiliki pengaruh besar dalam pembangunan. Hasilnya, kota besar menarik banyak atensi kebijakan nasional dari pers nasional dan internasional, dan juga dari investasi umum. Kota besar harus dapat menjadi model/contoh komitmen agar diikuti oleh kota yang lain dalam penyelesaian masalah, dengan berbagai inovasi; pencapaian, dan penyebaran jawaban yang berguna dalam proses pembangunan.

Dedikasi : Prof. H. Hadi Sabari Yunus., MA, DRS

Minggu, 14 Maret 2010

Kebijakan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia

Di saat kompleksitas ekosistem global sedikit demi sedikit dimengerti, interaksi antara satu kejadian alam dengan yang lainnya menjadi lebih jelas. Hal ini berlaku pada fenomena perubahan iklim global dengan penyebab sekaligus dampak yang menyertainya di Indonesia, yaitu kebakaran hutan dan lahan. Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan merupakan permasalahan yang serius yang harus dihadapi setiap tahun pada musim kemarau.
Persepsi dan pendapat masyarakat yang berkembang tentang peristiwa kebakaran yang sering terjadi belakangan ini adalah bahwa kebakaran tersebut terjadinya di dalam hutan semata, padahal sesungguhnya peristiwa tersebut dapat saja terjadi di luar kawasan hutan. Kebakaran hutan terjadi tidak hanya dilahan kering tetapi juga bisa di lahan basah seperti lahan Gambut, terutama pada musim kemarau dimana lahan gambut tersebut mengalami kekeringan.
Kebakaran hutan dan lahan seakan sudah menjadi tradisi tahunan di Indonesia, terutama setiap kali musim kemarau datang. Pada kejadian kebakaran berskala besar di tahun 1997-1998, diestimasi sekitar 10 juta hektar lahan yang rusak atau terbakar, dengan kerugian untuk Indonesia terhitung 3 milyar dollar Amerika. Kejadian ini sekaligus melepaskan emisi gas rumah kaca (GRK) sebanyak 0,81-2,57 Gigaton karbon ke atmosfer (setara dengan 13-40% total emisi karbon dunia yang dihasilkan dari bahan bakar fosil per tahunnya) yang berarti menambah kontribusi terhadap perubahan iklim dan pemanasan global.
Setiap tahunnya dalam musim kemarau, hampir berturut-turut, kejadian kebakaran hutan dan lahan berulang dengan berbagai tingkatan. Pada tahun 2002 dan 2005, kebakaran hutan dan lahan terjadi kembali dengan skala yang cukup besar terutama diakibatkan oleh konversi hutan di lahan gambut. Dari data yang terkumpul terhitung sejak 1997-1998, rata-rata 80% kebakaran hutan dan lahan terjadi di lahan gambut. Data yang dianalisis WWF-Indonesia menunjukkan bahwa di Provinsi Kalimantan Tengah mayoritas kejadian kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2002-2003 terjadi di lahan gambut. Sedangkan, di Provinsi Riau dalam periode tahun 2001-2006, sekitar 67% kebakaran terjadi di lahan gambut.
Hutan pada lahan gambut mempunyai peranan penting dalam penyimpanan karbon (30% kapasitas penyimpanan karbon global dalam tanah) dan moderasi iklim sekaligus memberikan manfaat keanekaragaman hayati, pengatur tata air, dan pendukung kehidupan masyarakat. Indonesia memiliki 20 juta hektar lahan gambut yang terutama terletak di Sumatera (Riau memiliki 4 juta hektar) dan Kalimantan. Pondasi utama dari lahan gambut yang baik adalah air. Bila terjadi pembukaan hutan gambut maka hal ini akan mempengaruhi unit hidrologinya. Dengan sifat gambut yang seperti spons (menyerap air), maka pada saat pohon ditebang, akan terjadi subsidensi sehingga tanah gambut yang sifatnya hidropobik tidak akan dapat lagi menyerap air dan kemudian mengering. Dalam proses ini, terjadilah pelepasan karbon dan sekaligus mengakibatkan lahan gambut rentan terhadap kebakaran yang pada gilirannya dapat menyumbangkan pelepasan emisi karbon lebih lanjut.
Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup, diperkirakan lahan gambut di Riau saja menyimpan kandungan karbon sebesar 14.605 juta ton. Bila pembukaan lahan gambut dibiarkan, apalagi diikuti dengan pembakaran hutan dan lahan, maka dapat dibayangkan berapa banyak karbon yang terlepas ke atmosfer dan pemanasan global ataupun perubahan iklim menjadi lebih cepat terjadi, sekaligus dampak ikutan seperti asap dan lainnya akan terus dirasakan oleh masyarakat setiap tahunnya.
Seperti terdapat dalam satu lingkaran, selain berkontribusi terhadap akumulasi GRK di atmosfer dengan bertambahnya emisi karbon dunia, kebakaran hutan dan lahan juga dipicu oleh meningkatnya pemanasan global itu sendiri dengan penyebab utama tetap merupakan akibat ulah manusia yang melakukan pembakaran dalam upaya pembukaan hutan dan lahan untuk hutan tanaman industri/HTI, perkebunan, pertanian, dan lain-lain. Kemarau ekstrim, yang seringkali dikaitkan dengan pengaruh iklim El NiƱo, memberikan kondisi ideal terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
1. Dampak Terhadap Sosial, Budaya dan Ekonomi
a. Hilangnya sejumlah mata pencaharian masyarakat di dan sekitar hutan. Sejumlah masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya dari hasil hutan tidak mampu melakukan aktivitasnya. Asap yang ditimbulkan dari kebakaran tersebut sedikit banyak mengganggu aktivitasnya yang secara otomatis juga ikut mempengaruhi penghasilannya. Setelah kebakaran usaipun dipastikan bahwa masyarakat kehilangan sejumlah areal dimana ia biasa mengambil hasil hutan tersebut seperti rotan, karet dsb.
b. Terganggunya aktivitas sehari-hari
Adanya gangguan asap secara otomatis juga mengganggu aktivitas yang dilakukan manusia sehari-hari. Misalnya pada pagi hari sebagian orang tidak dapat melaksanakan aktivitasnya karena sulitnya sinar matahari menembus udara yang penuh dengan asap. Demikian pula terhadap banyak aktivoitas yang menuntut manusia untuk berada di luar ruangan. Adanya gangguan asap akan mengurangi intensitas dirinya untuk berada di luar ruangan.
c. Peningkatan jumlah Hama
Sejumlah spesies dikatakan sebagai hama bila keberadaan dan aktivitasnya mengganggu proses produksi manusia. Bila tidak “mencampuri” urusan produksi manusia maka ia akan tetap menjadi spesies sebagaimana spesies yang lain.
Sejumlah spesies yang potensial untuk menjadi hama tersebut selama ini berada di hutan dan melakukan interaksi dengan lingkungannya membentuk rantai kehidupan. Kebakaran yang terjadi justru memaksanya terlempar dari rantai ekosistem tersebut. Dan dalam beberapa kasus ‘ia’ masuk dalam komunitas manusia dan berubah fungsi menjadi hama dengan merusak proses produksi manusia yang ia tumpangi atau dilaluinya.
Hama itu sendiri tidak harus berbentuk kecil. Gajah dan beberapa binatang bertubuh besar lainnya ‘harus’ memorakmorandakan kawasan yang dilaluinya dalam upaya menyelamatkan diri dan dalam upaya menemukan habitat barunya karena habitat lamanya telah musnah terbakar.

d. Terganggunya kesehatan
Peningkatan jumlah asap secara signifikan menjadi penyebab utama munculnya penyakit ISPA atau Infeksi Saluran Pernafasan. Gejalanya bisa ditandai dengan rasa sesak di dada dan mata agak berair. Untuk Riau kasus yang paling sering terjadi menimpa di daerah Kerinci, Kabupaten Pelalawan (dulu Kabupaten Kampar) dan bahkan di Pekanbaru sendiri lebih dari 200 orang harus dirawat di rumah sakit akibat asap tersebut.
e. Produktivitas menurun
Munculnya asap juga menghalangi produktivitas manusia. Walaupun kita bisa keluar dengan menggunakan masker tetapi sinar matahari dipagi hari tidak mampu menembus ketebalan asap yang ada. Secara otomatis waktu kerja seseorangpun berkurang karena ia harus menunggu sedikit lama agar matahari mampu memberikan sinar terangnya.
Ketebalan asap juga memaksa orang menggunakan masker yang sedikit banyak mengganggu aktivitasnya sehari-hari.
2. Dampak Terhadap Ekologis dan Kerusakan Lingkungan
a. Hilangnya sejumlah spesies
Kebakaran bukan hanya meluluh lantakkan berjenis-jenis pohon namun juga menghancurkan berbagai jenis habitat satwa lainnya. Umumnya satwa yang ikut musnah ini akibat terperangkap oleh asap dan sulitnya jalan keluar karena api telah mengepung dari segala penjuru. Belum ada penelitian yang mendalam seberapa banyak spesies yang ikut tebakar dalam kebakaran hutan di Indonesia.
b. Ancaman erosi
Kebakaran yang terjadi di lereng-lereng pegunungan ataupun di dataran tinggi akan memusnahkan sejumlah tanaman yang juga berfungsi menahan laju tanah pada lapisan atas untuk tidak terjadi erosi. Pada saat hujan turun dan ketika run off terjadi, ketiadaan akar tanah - akibat terbakar - sebagai pengikat akan menyebabkan tanah ikut terbawa oleh hujan ke bawah yang pada akhirnya potensial sekali menimbulkan bukan hanya erosi tetapi juga longsor.


c. Perubahan fungsi pemanfaatan dan peruntukan lahan
Hutan sebelum terbakar secara otomatis memiliki banyak fungsi. Sebagai catchment area, penyaring karbondioksida maupun sebagai mata rantai dari suatu ekosistem yang lebih besar yang menjaga keseimbangan planet bumi. Ketika hutan tersebut terbakar fungsi catchment area tersebut juga hilang dan karbondioksida tidak lagi disaring namun melayang-layang diudara. Dalam suatu ekosistem besar, panas matahari tidak dapat terserap dengan baik karena hilangnya fungsi serapan dari hutan yang telah terbakar tersebut.
Hutan itu sendiri mengalami perubahan peruntukkan menjadi lahan-lahan perkebunan dan kalaupun tidak maka ia akan menjadi padang ilalang yang akan membutuhkan waktu lama untuk kembali pada fungsinya semula.
d. Penurunan kualitas air
Kebakaran hutan memang tidak secara signifikan menyebabkan perubahan kualitas air. Kualitas air yang berubah ini lebih diakibatkan faktor erosi yang muncul di bagian hulu. Ketika air hujan tidak lagi memiliki penghalang dalam menahan lajunya maka ia akan membawa seluruh butir tanah yang ada di atasnya untuk masuk kedalam sungai-sungai yang ada. Akibatnya adalah sungai menjadi sedikit keruh. Hal ini akan terus berulang apabila ada hujan di atas gunung ataupun di hulu sungai sana.
e. Terganggunya ekosistem terumbu karang
Terganggunya ekosistem terumbu karang lebih disebabkan faktor asap. Tebalnya asap menyebabkan matahari sulit untuk menembus dalamnya lautan. Pada akhirnya hal ini akan membuat terumbu karang dan beberapa spesies lainnya menjadi sedikit terhalang untuk melakukan fotosintesa.
f. Menurunnya devisa negara
Turunnya produktivitas secara otomatis mempengaruhi perekonomian mikro yang pada akhirnya turut mempengaruhi pendapatan negara.



g. Sedimentasi di aliran sungai
Tebalnya lumpur yang terbawa erosi akan mengalami pengendapan di bagian hilir sungai. Ancaman yang muncul adalah meluapnya sungai bersangkutan akibat erosis yang terus menerus.
3. Dampak Terhadap Hubungan Antar negara
Asap yang ditimbulkan dari kebakaran tersebut sayangnya tidak mengenal batas administratif. Asap tersebut justru terbawa angin ke negara tetangga sehingga sebagian negara tetangga ikut menghirup asap yang ditimbulkan dari kebakaran di negara Indonesia. Akibatnya adalah hubungan antara negara menjadi terganggu dengan munculnya protes keras dari Malaysia dan Singapura kepada Indonesia agar kita bisa secepatnya melokalisir kebakaran hutan agar asap yang ditimbulkannya tidak semakin tebal.
Yang menarik, justru akibat munculnya protes dari tetangga inilah pemerintah Indonesia seperti kebakaran jenggot dengan menyibukkan diri dan berubah fungsi sebagai barisan pemadam kebakaran. Hilangnya sejumlah spesies dan berbagai dampak yang ditimbulkan ternyata kalah penting dibanding jeweran dari tetangga.
4. Dampak terhadap Perhubungan dan Pariwisata
Tebalnya asap juga mengganggu transportasi udara. Sering sekali terdengar sebuah pesawat tidak bisa turun di satu tempat karena tebalnya asap yang melingkungi tempat tersebut. Sudah tentu hal ini akan mengganggu bisnis pariwisata karena keengganan orang untuk berada di temapt yang dipenuhi asap.
Dampak penting dari kebakaran hutan dan lahan sangat dirasakan terutama oleh masyarakat yang menggantungkan hidupnya kepada hutan, satwa liar (seperti gajah, harimau, dan orang utan) yang kehilangan habitatnya, sektor transportasi karena terganggunya jadwal penerbangan, dan juga masyarakat secara keseluruhan yang terganggu kesehatannya karena terpapar polusi asap dari kebakaran. Tercatat sekitar 70 juta orang di enam negara di ASEAN terganggu kesehatannya karena menghirup asap dari kebakaran di Indonesia pada tahun 1997-1998.
Dari berbagai dampak yang muncul tersebut seharusnya pemerintah mulai bisa mereka-reka bencana musiman apa sebenarnya yang sering menghampiri Indonesia dari tahun ke tahun dan dampak apa yang ditimbulkan dari bencana tersebut. Namun, untuk tidak menyebut pemerintahan kita keras kepala dan sedikit tuli untuk melakukan refleksi, sepertinya kita lebih siap menjadi barisan pemadam kebakaran dibanding mempersiapkan seperangkat aturan yang mampu paling tidak meminimalisir kemungkinan terjadi kebakaran hutan dan lahan dimasa yang akan datang.
Sementara berbagai kajian belum diadopsi, walaupun pemerintah secara eksplisit meminta untuk itu, UU Kehutanan no 41 tahun 1999 dan rancangan pemerintah tentang Perlindungan Hutan dan Konservasi alam juga tidak memberikan perhatian yang memadai bagi upaya penanggulangan kebakaran. Contohnya, larangan membakar hutan yang terdapat dalam UU Kehutanan ternyata dapat dimentahkan untuk tujuan-tujuan khusus sepanjang mendapat izin dari pejabat yang berwenang (pasal 50 ayat 3 huruf d). Dan dengan kebiasaan peraturan undang-undang yang selama ini ada, pengartikulasian dari pasal tersebut tentu saja bisa menurut kepentingan apa dan siapa yang ada pada saat itu. Kasarnya, pasal ini bisa membuka peluang dihidupkannya kembali cara pembukaan lahan dengan cara pembakaran yang selama ini menjadi penyebab bencana kebakaran hutan. Bandingkan dengan negara Malaysia yang memberlakukan kebijakan tegas (tanpa kecuali) tentang larangan pembukaan lahan dengan cara bakar. UU ini juga secara tegas memberikan denda sebesar 500.000 ringgit dan/ 5 tahun penjara baik bagi pemilik mapun penggarap lahan.
Yang lebih herannya lagi, tidak ada satupun pasal dari UU No 41/99 ini yang secara substansial mengatur tentang pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan. Demikian pula halnya dalam RPP Perlindungan Hutan dan PP No. 6 tahun 99 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada hutan Produksi tidak memberikan referensi tentang pencegahan kebakaran hutan dalam konteks pengusahaan hutan.
Otomatis, dengan melihat kebijakan-kebijakan yang ada selama ini, Pemerintah Indonesia belum memiliki sense of crisis terhadap berbagai kasus kebakaran dan dampak yang ditimbulkannya. Sehingga kesan yang muncul kemudian pemerintah hanya memiliki kebijakan setengah hati untuk menanggulangi dan mencegah kebakaran hutan.
Upaya Bapedal menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Praktek Pembakaran, Kebakaran dan Dampaknya juga dikhawatirkan tidak efektif dikarenakan sebagaimana perangkat peraturan pemerintah (PP) hanyalah mengimplementasikan mandat dari suatu Undang-undang. Sedangkan Undang-Undang No 41 tentang Kehutanan maupun UU No. 23/97 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup tidak memberikan mandat secara spesifik untuk mengembangkan PP tentang kebakaran hutan. Bentuk PP ini juga memiliki keterbatasan dalam memberlakukan instrumen-instrumen command and control (paksaan) maupun insentif ekonomi. Instrumen-instrumen tersebut harus dalam bentuk UU (DPR RI bersama Pemerintah).
Dengan demikian adalah suatu hal yang logis apabila masalah pencegahan dan penanggulanan kebakaran hutan dan lahan segera menjadi perhatian dan secara cepat ketentuan-ketentuan tersebut dirumuskan dalam suatu UU yang memuat prinsip-prinsip pencegahan, pemantauan dan penanggulangan yang komprehensif dan terintegrasi.
Komentar penulis :
Akibat kebakaran hutan tidak hanya mengakibatkan kerugian ekonomis dan kerusakan ekosistem. Kita juga dicap sebagai bangsa dan masyarakat yang tidak bisa dan tidak mau memelihara kekayaan alam. Padahal kawasan hutan di Indonesia luasnya mencapai 10 persen dari hutan tropis yang ada di dunia atau ke tiga terbesar setelah Zaire dan Brasil.
Kepercayaan rasanya semakin jadi barang mewah dan mahal. Terus menerus kita membangun kepercayaan. Kepercayaan sekarang menjadi kata kunci. Dengan kepercayaan terbuka kemungkinan-kemungkinan rasa simpatik dan bantuan-bantuan finansial lain yang kita butuhkan.
Artinya dalam sekian sarana membangun kepercayaan keluar dan ke dalam kita masukkan keseriusan kita mengurus hutan. Kelalaian dan kelengahan kita menangani kebakaran hutan adalah pekerjaan mendesak yang harus segera diambil dan dilakukan. Hambatan psikologis dan politis dalam soal hutan tidaklah serumit menangani pelanggaran HAM di Timor-Timur, Kasus Aceh, pengadilan korupsi maha besar, pemulihan ekonomi yang berkesan maju mudur apalagi berurusan dengan lembaga Mahkamah Agung. Masalahnya bagaimana pemerintah ini bisa lebih cekatan dalam menangani dan mengeluarkan perintah, diikuti dengan tindakan serius dan nyata menghentikan merebaknya kebakaran hutan. Kalau tidak cekatan, kebakaran hutan maha dahsyat tahun 1997, jangan disesali, akan terulang. wallahualam bissawab (Rully Syumanda).

Komentar saya :
Saya cenderung sependapat dengan ungkapan penulis.Unsur keseriusan dancekatan dari pemerintah mutlat diperlukan untuk segera mengatasi kebakaran hutan dan lahan baik secara preventif maupun kuratif.
Hanya saja dalam hal ini kita tidak hanya membebani tugas dan tuntunan ini hanya kepada pemerintah saja. Partisipasi masyarakat (dalam hal ini masyarakat sekitar hutan) sangat diperlukan dalam penerapan hutan milik bersama sebagai media untuk menjaga dan memelihara hutan demi mengurangi kemungkinan terjadinya kebakaran hutan dan lahan di kemudian hari.
Konsep hutan milik bersama menjadi usulan yang dapat diterapkan dalam kondisi saling menuduh siapa yang harus bertanggung jawab dalam masalah kebakaran hutan dan lahan di Indonesia akhir-akhir ini. Bagaimanapun juga hutan adalah warisan beharga bagi anak dan cucu kita.


Daftar Bacaan :
Antisipasi Asap Musim Kemarau Di Kalimantan Barat dikutip dari www.bumn.go.id : http:members.bumn.go.id/ptpn13news.html/
Advokasi Kebijakan dikutip dari www.wwf.or.id/index.php?fuseaction=howwework.policy&language=i
Kebakaran Hutan dan Lahan Riau : Kebijakan dan Dampaknya Bagi Kehidupan Manusia - Rully Syumanda) dikutip dari www.walhi.or.id /Kampanye/Pengelolaan Bencana/Kebakaran Hutan.html