Berbagi informasi tentang Wilayah dalam khasanah ilmu Geografi PPW...
shine on
Selamat Datang
Wilujeng Sumping, Sugeng Rawuh, Welcome......
Mengenai Saya
- Iwan Mulyawan, M.Sc
- Kuningan, Jawa barat, Indonesia
- Iwan Mulyawan, M.Sc jebolan Konsentrasi Perencanaan Pembangunan Wilayah Prodi Geografi Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Jogjakarta. Sekarang bekerja di Badan Perencanaan Pembangunan Wilayah... Suka berdiskusi tentang isue-isue wilayah yang aktual demi pengembangan keilmuan dalam wacana kewilayahan
Selasa, 15 Maret 2011
MITIGASI BENCANA DI KABUPATEN KUNINGAN
Bencana didefinisikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, manusia dan/atau keduanya yang mengakibatkan korban penderitaan manusia, kerugian harta benda, kerusakan lingkungan, kerusakan sarana dan prasarana dan fasilitas umum serta menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat.
Potensi bencana yang ada dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) kelompok utama, yaitu potensi bahaya utama (main hazard) dan potensi bahaya ikutan (collateral hazard). Dari indikator-indikator di atas dapat disimpulkan bahwa Kabupaten Kuningan memiliki potensi bahaya utama (main hazard potency) yang tinggi. Disamping tingginya potensi bahaya utama, juga memiliki potensi bahaya ikutan (collateral hazard potency) yang sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator misalnya likuifaksi, persentase bangunan yang terbuat dari kayu, kepadatan bangunan, dan kepadatan industri berbahaya. Potensi bahaya ikutan (collateral hazard potency) ini sangat tinggi terutama di daerah yang memiliki kepadatan, persentase bangunan kayu, dan jumlah industri berbahaya, yang tinggi.
Tingkat kerentanan (vulnerability) adalah suatu hal penting untuk diketahui sebagai salah satu faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya ‘bencana alami’, karena bencana baru akan terjadi bila ‘bahaya alam’ terjadi pada ‘kondisi yang rentan’. Tingkat kerentanan dapat ditinjau dari kerentanan fisik (infrastruktur), sosial kependudukan, dan ekonomi. Kerentanan fisik (infrastruktur) menggambarkan perkiraan tingkat kerusakan terhadap fisik (infrastruktur) bila ada faktor berbahaya (hazard) tertentu. Melihat dari berbagai indikator sebagai berikut : persentase kawasan terbangun; kepadatan bangunan; persentase bangunan konstruksi darurat; jaringan listrik; rasio panjang jalan; jaringan telekomunikasi; dan jaringan PDAM.
Kerentanan sosial menunjukkan perkiraan tingkat kerentanan terhadap keselamatan jiwa/kesehatan penduduk apabila ada bahaya. Dari beberapa indikator antara lain kepadatan penduduk, laju pertumbuhan penduduk, persentase penduduk usia tua-balita dan penduduk wanita, maka memiliki kerentanan sosial yang tinggi. Belum lagi jika kita melihat kondisi sosial saat ini yang semakin rentan terhadap bencana non-alam (man made disaster), seperti rentannya kondisi sosial masyarakat terhadap kerusuhan, tingginya angka pengangguran, instabilitas politik, dan tekanan ekonomi. Kerentanan ekonomi menggambarkan besarnya kerugian atau rusaknya kegiatan ekonomi (proses ekonomi) yang terjadi bila terjadi ancaman bahaya. Indikator yang dapat kita lihat menunjukkan tingginya tingkat kerentanan ini misalnya adalah persentase rumah tangga yang bekerja di sektor rentan (sektor jasa dan distribusi) dan persentase rumah tangga miskin.
Berdasarkan potensi bencana dan tingkat kerentanan yang ada, maka dapat diperkirakan risiko ‘bencana’ yang akan terjadi tergolong tinggi. Risiko bencana pada wilayah Indonesia yang tinggi tersebut disebabkan oleh potensi bencana yang dimiliki wilayah-wilayah tersebut yang memang sudah tinggi, ditambah dengan tingkat kerentanan yang sangat tinggi pula. Sementara faktor lain yang mendorong semakin tingginya risiko bencana ini adalah menyangkut pilihan masyarakat (public choice). Banyak penduduk yang memilih atau dengan sengaja tinggal di kawasan yang rawan/rentan terhadap bencana dengan berbagai alasan seperti kesuburan tanah, atau opportunity lainnya yang dijanjikan oleh lokasi tersebut.
Beberapa indikator kerentanan fisik, ekonomi dan sosial tersebut di atas menunjukkan bahwa Kabupaten Kuningan memiliki tingkat kerentanan yang tinggi, sehingga hal ini mempengaruhi/menyebabkan tingginya risiko terjadinya bencana di wilayah. Dilihat dari potensi bencana yang ada, Kabupaten Kuningan merupakan kabupaten dengan potensi bencana (hazard potency) yang tinggi. Beberapa potensi bencana yang ada antara lain adalah bencana alam seperti gempa bumi, gunung meletus, banjir, tanah longsor, dan lain-lain.
Bencana Alam dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu:
1.bencana letusan gunung berapi;
2.bencana instabilitas gerakan tanah;
3.bencana banjir;
4.bencana gempa bumi;
5.bencana kekeringan;
6.kebakaran hutan; dan
7.bencana angin kencang.
1.Bencana Letusan Gunung Berapi.
Gunungapi yang terdapat di Kabupaten Kuningan adalah Gunung Ciremai. Berdasarkan catatan sejarah erupsinya seperti yang di tulis Pratomo (2008), letusan Gunungapi Ciremai terpendek adalah 3 tahun dan terpanjang 112 tahun. Erupsi terakhirnya terjadi mulai 24 Juli 1937 sampai 7 Januari 1938 terjadi letusan freatik di kawah pusat dan celah radial. Sebaran abu mencapai daerah seluas 52,500 km bujursangkar (Kusumadinata, 1971). Tiga letusan 1772, 1775 dan 1805 terjadi di kawah pusat tetapi tidak menimbulkan kerusakan yang berarti. Letusan uap belerang serta tembusan fumarola baru di dinding kawah pusat terjadi tahun 1917 dan 1924. Hingga saat ini Gunungapi Ciremai telah beristirahat selama 71 tahun dan selang waktu tersebut belum melampaui waktu istirahat terpanjang (RTRW Kabupaten Kuningan, 2011-2030).
Keberadaan Gunungapi Ciremai yang termasuk jenis gunungapi aktif sejak tahun 1960 selain merupakan asset alam yang sangat berharga, juga mengandung risiko bencana alam letusan gunung (erruption). Siklus meletusnya gunung berapi Ciremai 126 tahun sekali, yang letusan terakhirnya pada tahun 1864, sehingga risiko tersebut memerlukan antisipasi terlebih selama lebih dari satu abad terakhir Gunung Ciremai belum mengalami letusan dan memerlukan rencana penataan ruang untuk daerah mitigasi bencana.
2.Bencana Gerakan Tanah
Beberapa wilayah kecamatan yang berpotensi tinggi mengalaminya, seperti Kecamatan Ciniru, Subang, Selajambe, Cilebak, Ciwaru, Karangkancana, Cimahi dan Cibingbin. Gerakan tanah yang pernah terjadi di Kabupaten Kuingan antara lain berupa nendatan dan longsoran.
oNendatan, terjadi di kampung Mandapajaya Kecamatan Subang pada batu pasir tufan (Formasi Halang) dengan tanah lapukan berupa lempung setebal 2 – 3, 5 m, serta di Kampung Cisampih Desa Cipakem Kecamatan Lebakwangi pada tanah lapukan perselingan batu pasir gampingan dan serpih berupa lempungan pasiran-pasir lempungan setebal 3-6.
oLongsoran, terjadi di kampung Banjaran Desa Jabranti Kecamatan Ciwaru pada perselingan batu pasir tufan, batu lempung dan konglomerat (Formasi Halang) yang telah lapuk berupa lempung lanauan setebal 3-7 m (N. Sugiharto, 2000); di ampung Puguh Desa Sukadana Kecamatan Ciawigebang pada breksi gunungapi yang menumpang di atas perselingan batu pasir tufan dan batu lempung tufan dengan tanah lapukan berupa lempung pasiran mengandung kerikil dan bangkah setebal lebih dari 4 meter, serta di Kampung Parenca Desa Mandalajaya Kecamatan Lebakwangi pada batupasir yang telah lapuk berupa lembung pasiran setebal lebih dari 2,5 meter.
3.Bencana Banjir
Kejadian banjir bandang di Kuningan diantaranya pernah terjadi di Desa Garajati Kecamatan Ciwaru karena wilayah tersebut merupakan pertemuan atau muaranya Citaal ke Cisanggarung. Banjir bandang lainnya pernah terjadi di Desa Datar Kecamatan Cidahu dan Desa Benda Kecamatan Cimahi, terjadi karena tanggul sungai Cisanggarung sepanjang 30 meter roboh diterjang derasnya arus sungai. Akibatnya puluhan hektar sawah terendam dan mengikis tebing sungai dekat kawasan pemukiman.
Selain itu, keberadaan Waduk Darma yang besar volumenya, dan beberapa situ serta embung di wilayah ini bisa juga berpotensi menyebabkan banjir bandang jika tanggul waduk dan situ tersebut mengalami kerusakan dan jebol seperti kejadian Situ Gintung di Tanggerang. Sehingga pemantauan kualitas dan daya tahan bendungan atau tanggul waduk,situ dan embung tersebut harus secara intensif dilakukan.
4.Bencana Gempa Bumi
Gempa bumi ada yang disebut sebagai gempa bumi tektonik dan gempa bumi gunung berapi yaitu gempa yang diakibatkan oleh adanya pergerakan magma gunung berapi. Berikut uraian lebih rinci. Gempa bumi tektonik disebabkan oleh perlepasan tenaga yang terhasil daripada geseran batuan di keretakan memanjang sepanjang batuan sempadan plat tektonik.
Energi getaran gempa dikirimkan melalui permukaan bumi dari kedalaman pusat gempa. Getaran menyebabkan kerusakan dan menghancurkan bangunan-bangunan, yang pada gilirannya bisa membunuh dan melukai orang-orang yang bertempat tinggal di situ. Getaran juga mengakibatkan tanah longsor, pencairan, runtuhnya bebatuan dan kegagalan-kegagalan daratan yang lain, yang merusak tempat- tempat hunian di dekatnya. Getaran juga memicu kebakaran berganda, kecelakaan industri atau transportasi dan bisa memicu banjir lewat jebolnya bendungan-bendungan dan tanggul-tanggul penahan banjir.
Beberapa catatan sejarah kejadian akibat bencana gempa di Kabupaten Kuningan. Tahun 1875 tepatnya tanggal 25 Oktober 1875 kabarnya pernah ada kejadian gempa besar di Kuningan. Selain itu pada tahun 1947, 1955 dan 1973 terjadi gempa tektonik yang melanda daerah baratdaya G. Ciremai, yang diduga berkaitan dengan struktur sesar berarah tenggara - baratlaut. Kejadian gempa yang merusak sejumlah bangunan di daerah Maja dan Talaga sebelah barat G. Ciremai tahun 1990 dan tahun 2001, getarannya terasa hingga desa Cilimus di timur G. Ciremai. Terakhir, tanggal 2 september 2009. Pusat gempa berada pada koordinat 7,77 LS dan 107,32 BT, kedalaman 49 km dan berjarak sekitar 142 km dari Barat daya Tasikmalaya.
5.Bencana Kekeringan
Hampir seluruh wilayah kecamatan mengalami rawan kekeringan air baik yang dialami tiap tahun atau sepanjang tahun serta sumber daya manusia yang masih kurang/terbatas dalam pengelolaan air minum baik dari sisi teknis maupun manajemen.
6.Bencana Kebakaran Hutan
Wilayah Kabupaten Kuningan termasuk daerah yang mempunyai luasan hutan lebih dari 30%, tersebar di wilayah hutan Gunung Ciremai dan daerah perbukitan yang memanjang dari Selatan Gunung Ciremai bersambung ke Selatan Kuningan sampai wilayah Timur Kuningan. Keberadaan wilayah hutan yang luas tersebut disertai dengan musim kemarau panjang dan faktor ulah manusia karena terdapat wilayah hutan yang berdekatan dengan wilayah pedesaan, biasanya menjadi faktor utama penyebab terjadinya kebakaran hutan.
Pemerintah Kabupaten Kuningan mendeteksi terdapat tujuh titik rawan kebakaran di wilayah hutan Kuningan. Lima titik rawan kebakaran hutan di kawasan Gunung Ciremai itu terdapat di areal hutan Pasawahan, Padabeunghar, Setianegara, Trijaya, dan Palutungan. Sedangkan dua lokasi lainnya yang juga ditengarai rawan kebakaran hutan aalah kawasan hutan Cibingbin, dan Garawangi. Untuk mengantisipasi terjadinya kebakaran di kawasan tersebut, pihak Pemerintahan Kab.Kuningan kini melakukan pengawasan secara ketat terutama aktifitas manusia memasuki kawasan hutan di musim kemarau.
7.Bencana Angin Kencang;
Hal yang harus diwaspadai yaitu terjadinya angin barat terutama pada saat musim kemarau.
MITIGASI BENCANA DAN PERAN PEMERINTAH KABUPATEN KUNINGAN DI ERA DESENTRALISASI
Mitigasi bencana merupakan langkah yang sangat perlu dilakukan sebagai suatu titik tolak utama dari manajemen bencana. Sesuai dengan tujuan utamanya yaitu mengurangi dan/atau meniadakan korban dan kerugian yang mungkin timbul, maka titik berat perlu diberikan pada tahap sebelum terjadinya bencana, yaitu terutama kegiatan penjinakan/peredaman atau dikenal dengan istilah Mitigasi. Mitigasi dilakukan untuk memperkecil, mengurangi dan memperlunak dampak yang ditimbulkan bencana. Mitigasi pada prinsipnya harus dilakukan untuk segala jenis bencana, baik yang termasuk ke dalam bencana alam(natural disaster) maupun bencana sebagai akibat dari perbuatan manusia(man-made disaster).
Selama ini, di dalam praktek, penanggulangan bencana masih ditekankan pada ‘saat’ serta ‘setelah (pasca)’ terjadinya bencana. Sementara itu, pada tahap ‘sebelum (pra)’ bencana yang telah diakomodasikan masih terbatas pada tahapan pencegahan (prevention), yaitu dengan menghindari pemanfaatan kawasan yang ‘rawan bencana’ untuk dikembangkan sebagai kawasan budidaya. Kebiijaksanaan yang ada juga belum memadukan berbagai program pembangunan yang berwawasan keamanan dan keselamatan warga dari bencana yang mungkin terjadi. Selain itu juga disadari bahwa kebijakan nasional penanggulangan bencana yang ada masih mengandung beberapa kelemahan yang cukup esensial, selain dalam hal substansinya (yang masih sangat umum, tidak khusus untuk yang jauh lebih rentan), juga pada tingkat kemungkinan ‘applicability’ dari kebijaksanaan tersebut di dalam tataranpraktik sesuai dengan kondisi dan situasi yang ada.
Oleh karenanya, sejak diterapkannya UU No. 22 tahun 1999 peran pemerintah pusat di era desentralisasi baru yang lebih terbatas pada penyusunan pedoman, standard, atau aturan kebijakan pokok. Hal tersebut berimplikasi pada tuntutan penyusunan kebijakan nasional mitigasi bencana yang lebih baik, dalam artian kebijakan nasional yang lebih layak secara teknik (efektif dan cukup), ekonomi dan finansial (efisien, keefektifan biaya), politis (diterima masyarakat, responsif, legal), dan secara administratif dapat dilaksanakan (otoritas, komitmen, kapasitas, dan prasarana & sarana pendukung).
Khusus dalam kebijakan penanggulangan bencana alam, kebijakan yang telah ada saat ini umumnya juga lebih menekankan pada pencegahan/penghindaran dalam menyikapi kawasan yang rentan terhadap bencana. Hal ini khususnya berlaku untuk kawasan yang belum terbangun, yaitu dengan menjadikannya sebagai kawasan lindung/preservasi, yang tidak boleh sama sekali dibangun. Dalam hal tertentu, kebijaksanaan tersebut kadang-kadang dapat menimbulkan persoalan dalam pembangunan, khususnya terkait dengan hilangnya kesempatan sosial ekonomi atas lokasi-lokasi yang strategis di . Kepadatan penduduk yang terpusat di, ditambah dengan pertumbuhan penduduknya yang cukup tinggi (proses itensifikasi), menyebabkan daerah tersebut menjadi rawan/rentan terhadap bencana baik bencana alam maupun bencana akibat ulah manusia. Permintaan lahan untuk perumahan dan industri (proses ekstensifikasi) juga menyebabkan bertambahnya area yang potensial terhadap bencana. Mengingat bahwa mitigasi ditujukan untuk mengurangi atau menghilangkan risiko akibat bencana terhadap manusia dan harta bendanya, maka prioritas perlu diberikan untuk kawasan-kawasan yang secara inherent mengandung potensi risiko yang tinggi jika terjadi bencana sebagai akibat akumulasi dari tingkat kerentanan (vulnerability level), yang relatif lebih tinggi
bila dibandingkan dengan wilayah yang secara umum kurang terbangun, dengan potensi bahaya (hazard potency) yang dimilikinya.
Kabupaten Kuningan perlu mempunyai suatu kebijakan mitigasi bencana dengan mengikuti pedoman atau Arahan Kebijaksanaan Mitigasi Bencana yang diharapkan dapat digunakan sebagai titik tolak untuk mengembangkan dan memadukan berbagai program pembangunan yang berwawasan keamanan dan keselamatan warga dari bencana yang mungkin terjadi sekaligus menjaga keberlanjutan pembangunan. Salah satu sebab pentingnya penyusunan kebijaksanaan mitigasi ini, di samping mengurangi dampak dari bencana itu sendiri adalah juga untuk menyiapkan masyarakat ‘membiasakan diri’ hidup bersama dengan bencana, khususnya untuk lingkungan yang sudah (terlanjur) terbangun, yaitu dengan mengembangkan sistem peringatan dini dan memberikan pedoman bagaimana mempersiapkan diri dalam menghadapi bencana yang biasa terjadi, sehingga masyarakat dapat merasakan keamanan serta kenyamanan dalam kehidupannya.
Secara umum, dalam prakteknya mitigasi dapat dikelompokkan ke dalam mitigasi struktural dan mitigasi non struktural. Mitigasi struktural berhubungan dengan usaha-usaha pembangunan konstruksi fisik, sementara mitigasi non struktural antara lain meliputi perencanaan tata guna lahan disesuaikan dengan kerentanan wilayahnya dan memberlakukan peraturan (law enforcement) pembangunan. Dalam kaitan itu pula, kebijakan nasional harus lebih memberikan keleluasan secara substansial kepada daerah-daerah untuk mengembangkan sistem mitigasi bencana yang dianggap paling tepat dan paling efektif-efisien untuk daerahnya.
Manajemen bencana merupakan seluruh kegiatan yang meliputi aspek perencanaan dan penanggulangan bencana, pada sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana yang dikenal sebagai Siklus Manajemen Bencana, yang bertujuan untuk (1) mencegah kehilangan jiwa; (2) mengurangi penderitaan manusia; (3) memberi informasi masyarakat dan pihak berwenang mengenai risiko, serta (4) mengurangi kerusakan infrastruktur utama, harta benda dan kehilangan sumber ekonomis.
Aspek penting dalam manajemen bencana adalah perlunya mitigasi dan kesiapsiagaan menghadapi bencana. Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. (UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, Pasal 1, Ayat 9). Mitigasi bencana tidak hanya dibangun untuk menyelamatkan manusia saja, tetapi juga untuk seluruh mahluk hidup. Mitigasi bencana pada prinsipnya dilakukan dalam 3 tahapan, yaitu : 1). Mitigasi Sebelum terjadinya bencana ; 2) Mitigasi selama bencana terjadi dan 3) Mitigasi setelah bencana terjadi. Pada setiap tahapan sasaran yang diutamakan adalah untuk mengurangi atau memperkecil bahkan kalau bisa mengtiadakan risiko-risiko dampak bencana.
Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana (UU 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana). Mitigasi bencana adalah istilah yang digunakan untuk menunjuk pada semua tindakan untuk mengurangi dampak dari satu bencana yang dapat dilakukan sebelum bencana itu terjadi, termasuk kesiapan dan tindakan-tindakan pengurangan risiko jangka panjang. Mitigasi bencana mencakup baik perencanaan dan pelaksanaan tindakan-tindakan untuk mengurangi risiko-risiko yang terkait dengan bahaya-bahaya karena ulah manusia dan bahaya alam yang sudah diketahui, dan proses perencanaan untuk respon yang efektif terhadap bencana-bencana yang benar-benar terjadi.
Mitigasi merupakan bagian dari pengelolaan bencana. Pemahaman mengenai mitigasi harus mencakup pula konteks pengelolaan bencana secara keseluruhan. Pengelolaan Bencana (Disaster Management) dapat diartikan sebagai Ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk meningkatkan tindakan-tindakan berkaitan dengan pencegahan, mitigasi, kesiapan, tanggap darurat dan pemulihan, melalui pengamatan dan analisis yang sistematik. Suatu terminologi kolektif yang mencakup semua aspek perencanaan untuk menghadapi dan memberikan tanggapan terhadap bencana, termasuk kegiatan-kegiatan pra dan pasca bencana
Berbagai komponen yang terdapat dalam pengelolaan bencana memerlukan pemahaman yang tepat agar dapat diterapkan di lapangan dan tidak terjadi kesimpangsituran. Komponen tersebut antara lain adalah:
Mitigasi risiko bencana adalah semua tindakan untuk mengurangi dampak/ risiko dari suatu bencana yang dapat dilakukan sebelum bencana itu terjadi, termasuk kesiapan dan tindakan-tindakan pengurangan risiko jangka panjang. Mitigasi risiko bencana mencakup baik perencanaan maupun pelaksanaan tindakan-tindakan untuk mengurangi risiko-risiko yang terkait dengan bahaya-bahaya karena ulah manusia dan bahaya alam yang sudah diketahui, dan proses perencanaan untuk respon yang efektif terhadap bencana-bencana yang benar-benar terjadi.
Upaya mitigasi dapat dilakukan dalam bentuk mitigasi struktur dengan memperkuat bangunan dan infrastruktur yang berpotensi terkena bencana, seperti membuat kode bangunan, desain rekayasa, dan konstruksi untuk menahan serta memperkokoh struktur ataupun membangun struktur bangunan penahan longsor, penahan dinding pantai, dan lain-lain.
Selain itu upaya mitigasi juga dapat dilakukan dalam bentuk non struktural, diantaranya seperti menghindari wilayah bencana dengan cara membangun menjauhi lokasi bencana yang dapat diketahui melalui perencanaan tata ruang dan wilayah serta dengan memberdayakan masyarakat dan pemerintah daerah.
Mitigasi Bencana yang Efektif
Mitigasi bencana yang efektif harus memiliki tiga unsur utama, yaitu penilaian bahaya, peringatan dan persiapan.
1. penilaian bahaya (hazard assestment); diperlukan untuk mengidentifikasi populasi dan asset yang terancam, serta tingkat ancaman. Penilaian ini memerlukan pengetahuan tentang karakteristik sumber bencana, probabilitas kejadian bencana, serta data kejadian bencana di masa lalu. Tahapan ini menghasilkan Peta Potensi Bencana yang sangat penting untuk merancang kedua unsur mitigasi lainnya;
2. peringatan (warning); diperlukan untuk memberi peringatan kepada masyarakat tentang bencana yang akan mengancam (seperti bahaya tsunami yang diakibatkan oleh gempa bumi, aliran lahar akibat letusan gunung berapi, dsb). Sistem peringatan didasarkan pada data bencana yang terjadi sebagai peringatan dini serta menggunakan berbagai saluran komunikasi untuk memberikan pesan kepada pihak yang berwenang maupun masyarakat. Peringatan terhadap bencana yang akan mengancam harus dapat dilakukan secara cepat, tepat dan dipercaya; dan
3. persiapan (preparedness). Kegiatan kategori ini tergantung kepada unsur mitigasi sebelumnya (penilaian bahaya dan peringatan), yang membutuhkan pengetahuan tentang daerah yang kemungkinan terkena bencana dan pengetahuan tentang sistem peringatan untuk mengetahui kapan harus melakukan evakuasi dan kapan saatnya kembali ketika situasi telah aman. Tingkat kepedulian masyarakat dan pemerintah daerah dan pemahamannya sangat penting pada tahapan ini untuk dapat menentukan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengurangi dampak akibat bencana. Selain itu jenis persiapan lainnya adalah perencanaan tata ruang yang menempatkan lokasi fasilitas umum dan fasilitas sosial di luar zona bahaya bencana (mitigasi non struktur), serta usaha-usaha keteknikan untuk membangun struktur yang aman terhadap bencana dan melindungi struktur akan bencana (mitigasi struktur).
Kebijakan Umum Pemulihan Pasca Bencana
Tiga kebijakan umum pemulihan yaitu:
1. Pemulihan Perumahan dan Permukiman. Kebijakan ini bertujuan untuk menyediakan perumahan dan permukiman tahan gempa yang lebih sehat, lebih tertib, lebih teratur, dan lebih estetis beserta sarana dan prasarana pendukungnya dengan mempertimbangkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Kebijakan ini terkait dengan hasil penilaian kerusakan dan kerugian di sektor perumahan dan permukiman serta di sektor prasarana.
2. Pemulihan Sarana dan Prasarana Publik. Kebijakan ini bertujuan untuk mengembalikan fungsi sarana dan prasarana layanan publik, yang diarahkan untuk mendukung revitalisasi kehidupan sosial dan perekonomian daerah. Kebijakan ini terkait dengan hasil penilaian kerusakan dan kerugian di sektor prasarana, sosial, ekonomi produksi, dan di sektor lainnya (lintas sektor).
3. Pemulihan Perekonomian. Kebijakan ini bertujuan untuk memberikan dukungan dalam rangka menstimulasi dan mendorong kembali aktivitas perekonomian lokal dan pendapatan masyarakat. Kebijakan ini terkait dengan hasil penilaian kerusakan dan kerugian di sektor ekonomi produksi dan di sektor lainnya (lintas sektor)
Strategi Umum Pemulihan
Strategi pemulihan pasca bencana gempa Jawa Barat terdiri dari dua tahap, yaitu tahap rehabilitasi dan tahap rekonstruksi.
Tahap Rehabilitasi bersifat jangka pendek, sebagai respon atas berbagai isu yang bersifat mendesak dan membutuhkan penanganan yang segera dan bertujuan untuk memulihkan standar pelayanan minimum pada sektor perumahan, sektor prasarana, sektor sosial, sektor ekonomi produksi, serta sektor lainnya (lintas sektor) yang mengalami kerusakan dan kerugian akibat dampak bencana.
Tahap Rekonstruksi lebih bersifat jangka panjang untuk memulihkan sistem secara keseluruhan serta mengintegrasikan berbagai program pembangunan ke dalam pendekatan pembangunan daerah.
Manajemen Bencana (Disaster Management) adalah sekumpulan kebijakan dan keputusan-keputusan administratif dan aktivitas-aktivitas operasional yang berhubungan dengan berbagai tahapan dari semua tingkatan bencana. Manajemen bencana merupakan seluruh kegiatan yang meliputi aspek perencanaan dan penanggulangan bencana, pada sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana yang dikenal sebagai Siklus Manajemen Bencana, yang bertujuan untuk (1) mencegah kehilangan jiwa; (2) mengurangi penderitaan manusia; (3) memberi informasi masyarakat dan pihak berwenang mengenai risiko, serta (4) mengurangi kerusakan infrastruktur utama, harta benda dan kehilangan sumber ekonomis.
Aspek penting dalam manajemen bencana adalah perlunya mitigasi dan kesiapsiagaan menghadapi bencana. Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. (UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, Pasal 1, Ayat 9). Mitigasi bencana tidak hanya dibangun untuk menyelamatkan manusia saja, tetapi juga untuk seluruh mahluk hidup. Mitigasi bencana harus dilakukan untuk semua tipe wilayah di seluruh Indonesia, baik di pegunungan dengan bencana gunung berapi, di daerah rawa dengan banjir, dipantai dengan interusi dan aberasi, digambut dan areal hutan dengan kebakaran hutannya. Mitigasi bencana pada prinsipnya dilakukan dalam 3 tahapan, yaitu : 1). Mitigasi Sebelum terjadinya bencana ; 2) Mitigasi selama bencana terjadi dan 3) Mitigasi setelah bencana terjadi. Pada setiap tahapan sasaran yang diutamakan adalah untuk mengurangi atau memperkecil bahkan kalau bisa meniadakan risiko-risiko dampak bencana.
Kebijakan dan strategi jangka pendek penanganan bencana yaitu:
1. Pemulihan Perumahan dan Permukiman, dengan strategi menyediakan perumahan dan permukiman tahan gempa yang lebih sehat, lebih tertib, lebih teratur, dan lebih estetis beserta sarana dan prasarana pendukungnya dengan mempertimbangkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat;
2. Pemulihan Sarana dan Prasarana Publik, dengan strategi mengembalikan fungsi sarana dan prasarana layanan publik, yang diarahkan untuk mendukung revitalisasi kehidupan sosial dan perekonomian daerah;
3. Pemulihan Perekonomian, dengan strategi memberikan dukungan dalam rangka menstimulasi dan mendorong kembali aktivitas perekonomian lokal dan pendapatan masyarakat.
Kebijakan dan strategi jangka panjang dalam pengurangan risiko bencana, yaitu :
1. mengkaji risiko bencana, dengan strategi :
a. mengembangkan, memperbaharui, dan menyebarluaskan peta risiko beserta informasi terkait kepada para pengambil kebijakan dan masyarakat umum. Informasi yang tersedia berupa penyebab terjadinya bencana, penyebaran geografis bencana, besaran bencana, dan frekuensi bencana; dan
b. mengembangkan sistem indikator risiko bencana dan ketahanan di daerah, yang akan membantu para pengambil keputusan dalam mengkaji dampak bencana.
2. penyediaan dan pengembangan sistem peringatan dini (early warning system), dengan strategi :
a. mengembangkan sistem peringatan dini, baik berbasis teknologi modern maupun keariafan lokal/tradisional (local wisdom);
b. menetapkan standar sistem peringatan dini pada masing-masing jenis bencana;
c. menyusun pedoman kegiatan yang harus dilakukan oleh masyarakat pada sebelum, menjelang, saat, dan sesudah bencana;
d. mengintegerasikan sistem peringatan dini dengan sistem informasi, sistem infrastruktur, dan sistem perhubungan;
e. melakukan penguatan kapasitas yang menunjukkan bahwa sistem peringatan dini terintegrasi dengan baik kebijakan pemerintah dan proses pengambilan keputusan; dan
f. memperkuat koordinasi dan kerjasama multi sektor dan multi stakeholder dalam rantai sistem peringatan dini.
3. menyediakan prasarana dan sarana yang berfungsi untuk mitigasi dan pengurangan risiko bencana, dengan strategi :
a. menetapkan standar keamanan struktur bangunan;
b. mengevaluasi kualitas dan kekuatan bangunan prasarana dan sarana yang ada, terutama prasarana dan sarana publik;
c. mengembangkan teknologi prasarana dan sarana yang diperlukan untuk mitigasi dan penanggulangan bencana;
d. mengembangkan prasarana dan sarana yang diperlukan untuk pengurangan risiko bencana, seperti dam, bunker, bangunan pemecah ombak, bukit penyelamat, tempat dan jalur evakuasi, dan lain-lain;
e. merelokasi bangunan yang ada di zona paling berbahaya; dan
f. mengevaluasi kinerja perhubungan yang berfungsi saat evakuasi dan penyelamatan korban.
4. mengetahui tingkat kerentanan bencana dengan memperkirakan kerusakan-kerusakan yang mungkin terjadi akibat suatu bencana, serta mengevaluasi kemampuan daerah dalam mitigasi dan penanggulangan bencana; dengan strategi :
a. mengidentifikasi elemen-elemen kerusakan yang diakibatkan oleh suatu bencana; dan
b. memperkirakan nilai kerugian yang diakibatkan oleh suatu bencana.
5. memperkuat instrumen kebijakan mengenai mitigasi dan penanggulangan bencana yang terpadu antarsektor dan antar daerah; dengan strategi :
a. melaksanakan kebijakan terkait, seperti undang-undang lingkungan hidup dan penataan ruang, secara optimal dan memberikan sangsi bagi pelanggarnya;
b. mengakomodiasi kegiatan mitigasi dan penanggulangan bencana ke dalam kebijakan pemerintah daerah, terutama rencana tata ruang wilayah; dan
c. mengakomodasi asipirasi dan kepentingan masyarakat, serta nilai-nilai luhur/tradisional dalam menyusun kebijakan dan kegiatan mitigasi dan penanggulangan bencana.
6. melakukan manajemen dan penyebaran informasi, dengan strategi :
a. menyediakan informasi risiko dan pilihan perlindungan bencana yang mudah dipahami, terutama pada masyarakat pada daerah berisiko tinggi;
b. meningkatkan pemanfaatan dan penerapan informasi terkini, komunikasi dan teknologi untuk mendukung upaya pengurangan risiko bencana; dan
c. menyediakan informasi mengenai pemilihan konstruksi dan informasi pemanfaatan lahan atau jual beli tanah bagi institusi yang berhubungan dengan pengembangan .
Pemerintah Kabupaten Kuningan mempunyai peran dan fungsi yang sangat strategis dalam rangka melaksanakan pembangunan di segala bidang, yang bertujuan meningkatkan peran sebagai pusat pertumbuhan wilayah, penggerak pembangunan, pusat jasa pelayanan dalam segala bidang, serta pusat informasi dan inovasi-termasuk dalam hal teknologi mitigasi bencana. Akan tetapi, konsentrasi peran yang besar tersebut, tidak lepas dari kenyataan bahwa pada lokasi-lokasi yang rawan terhadap bencana alam, dan karena sangat heterogen dan pluralnya sistem sosial dan perekonomian yang terjadi juga sekaligus rawan terhadap bencana sosial, bencana teknologi, atau bencana buatan manusia lainnya. Dalam konteks tersebut perbedaan antara bencana alam dan bencana yang disebabkan oleh manusia cenderung tidak jelas.
Banyak kejadian alam dan bencana yang disebabkan oleh kesalahan manusia dalam penggunaan sumberdaya dan tindakan yang tidak memadai serta kurangnya pandangan jauh ke depan. Oleh karena itu sudah saatnya para pemerintah daerah, yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintahan Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), berinisiatif dan secara lebih proaktif mengembangkan sistem perencanaan pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan mitigasi bencana.
dari berbagai sumber
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
sedang trend...
BalasHapus